Kopi Pagi

Arif dan Bijak

Kamis 30 Apr 2020, 05:25 WIB

Oleh Harmoko
                     

ADA sesosok manusia yang bukan rasul dan bukan pula nabi, tapi diakui kearifan dan kebijaksanaannya oleh manusia yang bermoral. Bahkan namanya tercantum di dalam Al-Quran, kitab suci umat Islam yang tidak ada duanya. Orang itu bernama Luqman al-Hakim.

Suatu hari anaknya bertanya: “Ayahanda, bagaimanakah perangai yang terbaik dari seorang manusia?”

        Ayah: “Agama!” 

       Anak: “Bila perangai itu ada dua macam?”

       Ayah: “Agama dan harta benda.”

       Anak: “Bila ada tiga?”

       Ayah: ”Agama, harta benda, dan rasa malu.”   

       Anak: “Kalau ada empat?”

       Ayah: “Agama, harta benda, rasa malu, dan akhlak yang mulia.”

        Anak: “Bila ada lima?”

        Ayah: “Agama, harta benda, rasa malu, akhlak mulia, dan  dermawan.”

        Anak: “Andaikata perangai itu ada enam macam?”

        Ayah: “Wahai Ananda! Bila 5 perangai itu terhimpun di  dalam diri seseorang, maka dialah orang yang bersih, sempurna takwanya, dilidungi oleh Allah SWT, dan dia bebas dari godaan setan!”

Dialog tinggi dan padat isi seperti yang tercantum di atas itu tentu tidak memerlukan komentar lagi. Sebaliknya perlu kita cermati dan pegang erat-erat untuk menjadikannya sebagai pedoman sepanjang masa hidup kita di dunia.

Mantan Menteri Agama RI yang wartawan dan juga ayah  Menteri Agama RI  periode lalu, pernah menulis bahwa Imam Ghazali mengedepankan dialog Luqman Al-Hakim dengan puteranya  untuk menekankan pentingnya pembinaan watak manusia.

Idealnya seseorang itu pemeluk  agama yang kuat, kaya raya, berakhlak mulia, mempunyai rasa malu yang wajar saja, dan hatinya dermawan.             

Mengapa dalam membentuk watak, rasa malu menjadi faktor utama? Karena tanpa memiliki rasa malu, seseorang akan mudah menjadi serakah dan bahkan tak segan menjual agama, apalagi negara dan juga bangsanya demi setingkat pangkat atau sekepal harta. Hanya mereka yang mempunyai watak mulia yang menggoyangkan kepala di depan sodoran bertimbun harta benda, manakala dia diminta berbuat cela.

Memang, membentuk watak yang mulia tidaklah bisa dengan sekali jalan. Juga mustahil dilakukan sambil bersiul-siul. Tetapi dengan pendidikan, terutama pendidikan agama dan moral, watak mulia bisa dibina. Bahkan juga ditularkan kepada mereka yang moral atau wataknya jauh dari pantas. Jangankan akhlak atau watak manusia, bukankah binatang-binatang yang semula liar bahkan ganas, dapat dididik untuk  menjadi “artis” sirkus yang mempesona dan lawak ditonton.(*).

Tags:
harmoko

Reporter

Administrator

Editor