DALAM kondisi normal, orang sampai dilarang mudik pastilah memancing Komnas HAM berteriak lantang. Tapi gara-gara Corona, perintah Presiden Jokowi ini dimaklumi saja. Yang nekat, harus siap didenda maksimal Rp100 juta. Bahkan di Sragen (Jateng) sanksinya dikarantina dalam rumah hantu selama dua minggu.
Awalnya Presiden Jokowi menyilakan saja rakyatnya mudik dengan risiko dapat status ODP (Orang Dalam Pengawasan). Tapi menjelang Ramadan 1441 H, tiba-tiba berubah pikiran. Warga kota di manapun dilarang mudik alias pulkam. Yang nekat bakal kena denda maksimal Rp100 juta.
Kata Menhub Plt Luhut Panjaitan, ini memang strategi militer. Dalam pemikiran orang awam, justru kiat Presiden Jokowi berlawanan dengan pepatah lama: Pukul dulu urusan belakangan. Mungkin karena beliaunya priyayi Jawa, dia memilih: diurus dulu semuanya, baru dipukul belakangan!
Presiden Jokowi semakin memperketat rakyatnya kelayapan ke mana-mana, karena mereka yang terpapar Corona sudah melewati angka 7.000. Kata Jubir Corona dr Achmad Yurianto kemarin sore, positip Corona 7.135, sembuh 842 dan meninggal 616. Jelas ini tak bisa dibiarkan, bisa-bisa seminggu lagi sudah menyentuh angka 1 juta pasien.
Menurut data yang ada di tangan Presiden, yang pasti tidak mudik sebesar 64 persen, yang kadung mudik 7 persen, dan yang bersikeras hendak mudik 24 persen. Mereka inilah yang terus diwaspadai pemerintah dan mulai berlaku efektif mulai 24 April mendatang, pas hari pertama puasa.
KA, pesawat dan bus otomatis tidak beroperasi. Yang nekat mudik pakai mobil dipaksa mutar balik, atau terkena denda maksimal Rp100 juta. Yang lolos dari Jakarta misalnya, belum tentu di daerah aman karena mereka juga perantau pulkam. Bagi yang nekat, di Sragen telah disediakan rumah hantu sebagai tempat karantina.
Di sini akan diisolasi selama dua minggu. Sedih kan, pulang kampung gagal ketemu keluarga, malah pas Lebaran terpaksa “open house” dengan jin dan setan dari dunia lain.
Begitulah kejamnnya dampak Corona. Bersyukur kita tak separah India. Di sana karena dilockdown total, penduduk pulang kampung jalan kaki beratus-ratus kilometer, karena di kota tak ada kepastian penghidupan. Ada kisah tragis bocah usia 12 tahun, ketika tinggal 1 jam perjalanan sampai desanya, dia meninggal kecapekan. (gunarso ts)