Kopi Pagi

Mari Kerja Bersama

Kamis 20 Feb 2020, 06:20 WIB

Oleh Harmoko

KITA patut berbangga karena memiliki beragam budaya dengan kekhasan daerah masing- masing yang tersebar di seluruh pelosok negeri.Tetapi kebanggaan itu hendaknya dibarengi dengan sikap kepedulian untuk menjaga dan merawatnya.

Tidak sedikit budaya daerah tergerus karena perkembangan zaman. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di era digital sekarang ini tidak bisa dihindari, bahkan harus kita adopsi. Tetapi  bukan lantas abai atas eksistensi budaya sendiri.

Gotong royong, misalnya, jangan sampai punah tergerus budaya asing. Sementara dunia mengagumi budaya gotong royong negeri kita. Bahkan, tidak sedikit negara asing mengadopsinya untuk diterapkan di negaranya, tentu disesuaikan dengan budaya masyarakatnya.

Sering dikatakan gotong royong adalah saripati atau kristalisasi dari falsafah bangsa yang diangkat dari akar budaya bangsa.

Gotong royong merupakan perbuatan luhur yang mencerminkan akhlak mulia melalui perilaku sehari - hari atas dasar kesadaran diri.

Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gotong royong berarti bekerja bersama- sama (tolong - menolong, bantu- membantu).

Dalam perspektif sosiologi budaya, para ahli menyebutkan gotong royong adalah semangat individu yang diwujudkan melalui perilaku untuk melakukan kerja bersama demi kepentingan bersama tanpa berharap imbalan atau jasa.

Bisa jadi untuk membantu kepentingan individu tertentu atas kesepakatan/kesadaran bersama.

Kepentingan bersama misalnya kerja bakti untuk lingkungan, sedangkan kepentingan individu misalnya membantu tetangga yang terkena musibah atau dalam kondisi lemah.

Dengan gotong permasalahan bersama bisa terselesaikan lebih mudah dan murah. Dengan gotong royong, kehidupan lebih berdaya dan sejahtara.

Melalui gotong royong terbangun kebersamaan, terbentuk sikap tolong -menolong, rela berkorban dan membina kerukunan dan persatuan. Itulah di antaranya manfaat gotong royong.

Sangatlah tepat, jika pada butir pertama sila kelima mengamanatkan kepada kita untuk mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Konsep Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) atau di beberapa daerah disebut Rukun Kampung (RK), sejatinya tidak sekadar pengelompokan untuk memudahkan administrasi pemerintahan hingga ke level terkecil. Tetapi maknanya lebih dalam lagi, utamanya terkait budaya gotong royong yang meliputi aktivitas sosial kemasyarakatan.

Di era sekarang, gotong royong menjelma dalam format yang berbeda, seperti terbentuknya komunitas, kelompok ngopi bareng, atau nongki di kafe. Di dalam komunitas, kelompok ini terbangun pula kepedulian dan solidaritas yang tinggi di antara anggotanya.

Konsep yang terbangun lebih kepada tujuan dan eksistensi kelompok. Ini positif dan menjadi sangat produktif.  Makin bermakna jika lebih diarahkan lagi, tidak saja kepada kemajuan kelompok itu sendiri, tetapi lebih luas lagi, kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Tentu saja dengan tetap mengedepankan kebersamaan, bukan persaingan tidak sehat yang dapat menjurus kepada perselisihan. Hendaknya yang perlu dibangun adalah tetap kompak, tetapi tidak terkotak - kotak.

Dengan begitu modifikasi gotong royong di era kekinian dalam  format apa pun, tidak meninggalkan jati dirinya "kerja bersama untuk kepentingan umum, bukan lebih kepada kepentingan pribadi dan kelompoknya".

Dan, yang tidak kalah pentingnya didasari atas kesadaran diri dengan penuh keikhlasan, bukan berharap imbalan, sanjungan atau pengakuan.

Ini perlu keteladanan dari para orangtua kepada putra - putrinya, generasi penerus era kini, disebut kaum milenial dan digital.

Mengapa keteladanan? Karena generasi milenial lebih berharap model, ketimbang kritikan. Lebih membutuhkan keteladanan untuk membangun kesadaran, ketimbang doktrin atau pun paksaan.

Jika demikian halnya, edukasi gotong royong bukan melalui semboyan atau slogan, tetapi dari perilaku kita sehari hari. 

Merawat bukan sebatas wacana dan retorika, tetapi berperilaku nyata dengan melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Kerja bersama, bahu membahu untuk mengatasi masalah lingkungan, bukan kerja bersama guna mendatangkan kentungan.

Keteladanan semacam ini perlu diedukasi sejak dini agar perilaku gotong royong tidak tercerabut dari akar budaya kita.

Kita tidak perlu tergoda atas anggapan bahwa gotong royong itu "jadul", sudah tidak sesuai di era kekinian.

Di negara maju, modern sekalipun, Jepang misalnya, justru membangun negerinya dengan mengemas budaya bangsa. Adat dan tradisi budaya yang disebut "harmoni" mampu membangun karakter bangsa yang penuh damai. Sikap bahu- membahu, saling membantu untuk kepentingan bersama, ditanamkan di sekolah sejak TK. 

Begitu juga di Korea Selatan, kegotongroyongan dalam membangun partisipasi masyarakat diterapkan dalam membangun negerinya.

Jika negara maju mengembangkannya, haruskah kita meninggalkannya? Renungan untuk kita semua.(*)

Tags:
Kopi Pagi

Reporter

Administrator

Editor