KITA sejak lahir sudah diajarkan tentang etika, kesopanan dan sikap saling menghargai. Ajaran ini terus berlanjut hingga memasuki Taman Kanak - kanak dan Sekolah Dasar.
Semakin tinggi tingkatan pendidikan, frekuensi ajaran etika dan kesopanan mulai berkurang, bahkan hilang tergantikan dengan kurikulum yang dijadikan bekal untuk masa depan.
Apakah ini salah? Jawabnya tidak.
Pembentukan karakter bangsa harus dimulai sejak dini, sejak manusia lahir ke dunia. Karena kepribadian terbentuk dari sebuah kebiasaan yang diterimanya secara terus menerus, maka dengan sendirinya lingkungan terdekat memiliki peran.
Dan, tidaklah
heran, akibat pengaruh lingkungan perangai baik bisa berubah buruk. Nilai etika dan kesopanan pun luntur karena melebur dengan tata nilai baru yang datang dari lingkungan baru.
Perubahan tata nilai tidak bisa ditolak akibat berbagai faktor. Di antanya adalah derasnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang ada di sekeiling kita.Tetapi, apa pun perkembangan yang kita hadapi, wujud apa pun era digital yang kita alami, hendaknya dijaga agar tidak menghilangkan jati diri sebagai bangsa yang ramah, penuh etika, dan kesopanan.
Sebagai bangsa yang tetap menjunjung tinggi nilai - nilai kemanusiaan sebagaimana falsafah dan pedoman hidup kita.
Cukup banyak nilai- nilai kemanusian yang tidak hanya wajib kita pahami, tetapi perlu diamalkan.
Terdapat belasan, bahkan puluhan, sifat yang mencerminkan nilai kemanusiaan jika kita mau mengamalkannya di dalam kehidupan sehari - hari.
Yang paling sederhana dan mudah dilakukan adalah bersikap sopan.
Sering dikatakan para orang bijak bahwa kesopanan adalah bunga kemanusiaan; yang tidak cukup sopan tidak cukup manusiawi.
Bilang "permisi" atau "numpang lewat" jika hendak melewati sekelompk orang di pinggir jalan, adalah bentuk kesopanan. Itu adalah etika, yakni sesuatu yang dianggap baik dan buruk, hal yang dinilai pantas atau tidak pantas.
Apakah perilaku semacam itu sudah dianggap kuno di era digital sekarang ini? Tidakkah, kita malu jika meninggalkannya, sementara warga manca negara, yang paling modern sekalipun, mengatakan "excuse me" atau bilang "sorry" sudah menjadi kebiasaan di mana pun berada.
Masih banyak nilai kemanusiaan yang terlihat sepele, acap kita lupakan. Padahal sikap yang terlihat sederhana dapat menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Mampu membangun kebersamaan, keharmonisan dan kedamaian. Lebih luas lagi kemajuan dan kemakmuran bangsa.
Dalam lingkungan keluarga diajarkan untuk menghormati orangtua. Menghormati berarti mematuhi nasihatnya, dan menjaga nama baiknya dan keluarga.
Menghormati orangtua, atau orang yang lebih tua, bukan berarti tidak perlu lagi menghormarti mereka yang sebaya atau lebih muda, lebih di bawah kita dalam segala hal.
Kita menganut ajaran luhur untuk menghormati siapa pun dia adanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki hak yang sama. Hak untuk dihormati dan dihargai. Kita pun wajib menghormati dan menghargai orang lain. Itulah yang disebut keseimbangan dalam mengamalkan hak dan kewajiban. Itu pula pengakuan atas persamaan derajat, harkat dan martabat manusia.
Nilai kemanusian sejatinya bentuk empati dan kepedulian yang melekat pada diri masing- masing individu kepada lingkungan sekitarnya. Hanya saja, kerap potensi diri ini sudah cukup nyaman tersimpan dalam diri sehingga tidak atau kurang diberdayakan.
Lagi - lagi dapat kita katakan segudang potensi diri tak akan berarti apa - apa, jika tidak diamalkan dalam kehidupam yang nyata.
Tidak ubahnya seseorang yang memiliki beragam ilmu tapi tidak sebar atau ditularkan. Memiliki banyak harta benda cuma disimpan, tidak dimanfaatkan. Memiliki banyak buku tidak pernah dibaca, memiliki banyak baju di lemari, tidak pernah sekali pun dipakai.
Yang hendak saya katakan adalah setiap orang, siapa pun dia, memiliki potensi diri berupa kemampuan apa pun bentuknya. Menjadi terpendam, karena boleh jadi belum diaplikasikan dalam kehidupan nyata untuk kepentingan banyak orang.
Begitu pun potensi diri berupa rasa empati dan peduli terhadap sesama yang masih tersembunyi.
Itulah perlunya kesadaran untuk membuat potensi menjadi nyata dengan mengamalkannya.
Sekecil apa pun bentuk kepedulian akan sangat berharga bagi orang lain. Sebersit rasa empati akan menjadi sangat berarti bagi orang lain, yang boleh jadi tidak kita sadari.
Yang perlu dijaga, peduli dengan orang lain, lingkungan tidak harus ikut campur urusan orang lain. Peduli, tidak berarti harus "ikut campur" urusan orang lain, apalagi yang bersifat pribadi. Jangan sampai terjadi, maksud hati ingin berpeduli malah dibenci, karena salah memahami dan dianggap ikut campur urusan orang lain.
Semua itu kuncinya ada di komunikasi, bagaimana mengamalkan kepedulian sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Mari kita mulai. (*).