Oleh Harmoko
MEMPEROLEH gaji tinggi bentuk prestasi diri. Memiliki harta berlimpah adalah sebuah berkah. Tetapi semua itu bukan jaminan kepuasan hidup. Nyatanya, yang punya gaji tinggi, masih ingin naik lagi, yang hartanya sudah berlimpah, ingin lebih melimpah ruah.
Lantas di mana letak kepuasan hidup? Para filsuf mengatakan " Bersyukur, berbagi, dan saling menyayangi, itulah kunci kepuasan hidup."
Para leluhur juga telah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa saling berbagi dan menyayangi. Bahkan, ajaran luhur ini telah menjadi kesepakatan nasional, telah menjadi pedoman dan falsafah hidup bangsa untuk mewujudkan cita- citanya.
Saling mencintai atau saling menyayangi tak sebatas dipahami dan dimengerti, tetapi wajib kita amalkan dalam kehidupan sehari - hari sebagaimana maksud dari kandungan sila kedua Pancasila.
Sebaik apa pun ajaran luhur, setinggi apa pun legalitas sebuah aturan, jika tidak diamalkan tak akan menghasilkan perubahan. Kemajuan suatu bangsa dapat dicapai, jika warganya, masyarakatnya tidak hanya memahami segala norma, tetapi yang lebih utama adalah mematuhi dan melakukan perubahan dengan mengamalkan segala aturan.
Ya! Pengamalan itulah yang perlu digelorakan dan ditumbuh kembangkan dalam segala aspek kehidupan mulai dari lingkup terkecil, keluarga, lingkungan masyarakat. Lebih luas lagi berbangsa dan bernegara.
Mengembangkan sikap saling mencintai sebagaimana butir ketiga sila kedua falsafah bangsa, jangan pula diartikan secara sempit.
Mencintai atau menyayangi bukan munculnya perasaan cinta seorang pria kepada wanita. Tetapi, bagaimana kita mengembangkan sikap itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pepatah legendaris mengatakan: Tak kenal, maka tak sayang.
Pepatah ini mengajarkan kita untuk berusaha mencoba menjadi manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut bersosialisasi dengan lingkungan, mau tidak mau, suka atau tidak suka.
Mengenal orang lain, berinteraksi dengan orang lain hingga menjalin kerja sama adalah keniscayaan. Ini sering disebut sisi manusiawi, mengenai rasa humanis seorang manusia terhadap manusia lainnya.
Sifat manusiawi seperti ini sejatinya melekat pada diri manusia. Penelaahan para ahli, sifat manusiawi tidak bisa diubah, yang berubah adalah tindakan manusia itu sendiri.
Seperti dikatakan Abraham Lincoln, presiden ke-16 AS :Tindakan manusia bisa dimodifikasi tetapi sifat manusiawi tidak bisa diubah.
Sifat manusiawi berbentuk sebuah kepribadian atau karakter dan kebiasaan manusia pada umumnya.
Sering dikatakan "lupa" adalah manusiawi. Begitu juga salah, takut, benci, rindu, sakit hati, marah dan kecewa.
Sifat - sifat tadi tak bisa diubah. Sebut saja lupa akan tetap ada, khilaf juga akan terjadi. Begitu pun marah, takut, benci, sakit hati, malu dan rindu.
Sifat - sifat manusiawi akan tetap tertanam dalam diri. Kita dapat menjauhi sifat - sifat buruk manusiawi jika mampu memodifikasi melalui tindakan nyata dengan mengubah sikap dan perilaku sehari - hari.
Misalnya mengubah rasa iri hati menjadi murah hati, tinggi hati menjadi rendah hati, benci menjadi rindu, pemarah menjadi pemaaf dan masih banyak lagi sifat buruk yang bisa dijauhi, setidaknya dihindari.
Di sisi lain, sifat baik manusiawi seperti sabar, dermawan, pemaaf, setia, tahu balas budi, tenggang rasa, kasih sayang terhadap sesama, wajib dikembangkan, setidaknya dipertahankan.
Seperti di awal tulisan ini, sifat kasih sayang terhadap sesama, sejatinya telah terjelma di dalam diri kita.
Kita tentu mampu melaksanakannya, tetapi masalahnya, maukah kita mengamalkannya? Mari kita bertanya kepada diri masing-masing sudahkah kita menjalankannya? Sejauh mana kita telah menebarkan kasih sayang terhadap sesama manusia.
Kasih sayang yang paling sederhana dapat tercermin dari rasa empati melihat saudara, tetangga atau teman yang sedang tertimpa musibah.
Kalau tidak bisa membantu dengan harta, bantulah dengan ilmu. Tidak memiliki ilmu, dengan tenaga. Tidak punya tenaga, dengan ucapan, minimal doa dan senyuman.
Banyak jalan dan beragam cara menebarkan kasih sayang terhadap sesama sepanjang ada kemauan dari dalam diri.
Sebagai anak bangsa, malu rasanya jika kita abai menebarkan kasih sayang, sebuah ajaran luhur yang telah menjadi sikap dan jati diri bangsa.
Jangan sampai bersuara lantang mengajak anak bangsa mengembangkan kasih sayang untuk memajukan negara, memperkokoh persatuan dan persatuan, sementara dirinya sedikit pun tidak mengamalkannya.
Jangan mengaku sebagai orang bijak jika tak seindah kata dalam perbuatan.
Mestinya orang yang mengaku bijak akan merasa malu, jika kata – katanya lebih baik dari tindakannya, apalagi bila perbuatannya lebih buruk dari ucapannya.
Jika belum mau dan mampu menebarkan kasih sayang kepada sesama, tebarkan kasih sayang untuk diri sendiri dengan mengamalkan sifat - sifat baik untuk diri sendiri. Sedapat mungkin menjauhi sifat- sifat buruk yang bisa merugikan orang lain.
Satu pesan moral : Untuk menangani diri sendiri gunakan pikiran kita, untuk menangani orang lain gunakan hati kita. (*)