Oleh: Harmoko
ADA pitutur luhur agar kita tidak selamanya melihat ke atas, tetapi hendaknya sering, setidaknya, sesekali melihat ke bawah.
Ke atas yang dimaksud adalah melihat orang lain yang hidupnya lebih mapan, lebih terjamin, lebih segalanya dalam status sosial dan ekonominya.
Melihat ke bawah, kepada orang lain yang kondisi sosial ekonominya di bawah kita. Hidupnya serba kekurangan, lebih susah dari kita.
Jika mau realistis, kita masih cukup beruntung, karena masih banyak orang lain yang tidak seberuntung kita. Tidak sedikit orang lain yang nasibnya lebih buruk dari kita. Lebih sengsara dan menderita daripada kita.
Kita beruntung karena tidak termasuk satu dari 24,79 juta penduduk miskin di negeri kita sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019.
Kalau pun masuk di dalamnya, berada di posisi teratas, di atas, atau di tengah, bukan paling bawah.
Kita juga beruntung tidak termasuk satu dari 7,05 juta orang yang tercatat sebagai pengangguran alias tidak memiliki pekerjaan sama sekali.
Kalau pun tidak punya pekerjaan tetap, kita bersyukur masih memiliki penghasilan. Intinya kita harus selalu bersyukur, itulah filosofi kenapa kita mesti sering melihat ke bawah.
Melihat ke bawah juga mengajarkan kepada kita untuk senantiasa
rendah hati, melatih empati, mencintai sesama, dan saling tolong menolong sebagai sifat - sifat luhur yang sangat dibutuhkan era sekarang. Bahkan kapan saja.
Bukan sebaliknya dengan melihat ke bawah lantas menimbulkan sikap sombong karena merasa dirinya lebih tinggi, lebih baik, lebih mulia dari mereka yang berada di bawah kita.
Orangtua kita, leluhur kita, para pendiri negeri ini telah mengajarkan agar hidup saling tolong menolong sebagaimana tercermin dalam falsafah bangsa. Bukan mengumbar ego dan kesombongan.
Para filsuf sering mengatakan "Jangan ego dengan kehebatan dan kekuasaan, jangan sombong dengan ketinggian ilmu dan amalan. Jangan pula takabur dengan kemuliaan. Semua itu hanya sementara!"
Ya! Semua bersifat sementara apakah itu jabatan, kekuasaan dan kehebatan lain yang ada. Padahal bagaikan roda yang terus berputar, kadang di atas, pada kesempatan lain berada di paling bawah.
Saat berada di bawah kita perlu melihat ke atas, tapi bukan untuk pasrah diri kemudian menjadi rendah diri. Melihat ke atas hendaknya dijadikan motivasi agar kita berusaha dan bisa naik kelas.Termotivasi meningkatkan kualitas diri.
Melihat ke atas sebagai pemacu diri untuk
meningkatkan prestasi, hidup lebih disiplin, teratur dan menata diri menjadi lebih baik lagi.
Melihat ke atas perlu dibarengi kesadaran diri akan ada dan perlunya motivasi. Tanpa itu, yang kelak akan didapat adalah kekecewaan dan kecemburuan, bahkan dapat melahirkan iri dan dengki yang bisa berimbas kepada perilaku korupsi atau aneka perilaku buruk lainnya.
Kita dibolehkan selalu melihat ke atas untuk urusan akhirat, menengok ke bawah menyangkut masalah duniawi.
Dalam konteks urusan duniawi, pepatah Jawa mengatakan "Nek wis ono, sukurono. Nek durung teko, entenono. Nek wis lungo lalekno, nek ilang ikhlasno." Artinya kalau sudah punya syukurilah, kalau belum datang, sabarlah menanti, kalau sudah ditinggal pergi, lupakanlah, dan kalau hilang, ikhlaskanlah!
Ini mengajarkan kepada kita tentang kesadaran untuk senantiasa bersyukur atas apa yang telah didapat. Bersabarlah mengharap yang akan datang, dan tabahlan menghadapi cobaan, serta ikhlas menerima kenyataan apa pun adanya.
Sifat - sifat seperti itulah yang hendaknya menyatu dalam perilaku sehari - hari. Lebih - lebih di era sekarang ini, makin dibutuhkan sikap kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan sekitar.
Dengan senantiasa "melihat ke bawah" makin menyadarkan kita untuk selalu tergerak hati mengangkat harkat dan martabat orang lain.
Sekecil apa pun bentuk kepedulian yang kita berikan akan sangat berharga bagi mereka yang belum seberuntung kita. Mereka yang masih berada di bawah kita.
Bagi kita, boleh jadi bentuk kepedulian tersebut tidak berarti apa- apa, tapi menjadi sangat berarti bagi mereka yang sangat membutuhkan.
Bill Gates, bos Microsoft menjadi hebat karena sikap empati yang luar biasa kepada lingkungan sekitar. Dia menyumbangkan sebagian kekayaannya yang cukup besar untuk mereka yang membutuhkan.
"Kami membuat masa depan yang berkelanjutan ketika kami membantu orang-orang miskin, bukan ketika kami memaksakan sesuatu pada penderitaan mereka," kata Bill Gates.
Di sisi lain, duduk bersama orang yang kurang beruntung akan menghilangkan sifat dan sikap ego dan kesombongan.
Tak ada salahnya kita mencontoh tokoh hebat dunia yang senantiasa menengok ke bawah, meski terus bertengger di puncak kesuksesan.
Mari kita ubah diri dengan mencegah godaan untuk selalu melihat ke atas, dan sebaliknya biasakanlah menengok ke bawah.
Jangan menunda perubahan. Jika bisa berubah sekarang, mulailah, sebelum muncul kata terpaksa harus berubah. (*).