Kopi Pagi

Jangan Sewenang-wenang, Jangan Pula Semena-mena

Kamis 23 Jan 2020, 07:25 WIB

Oleh Harmoko

 TIDAK sewenang – wenang wajib dilaksanakan, tidak semena – mena wajib juga diamalkan. Mengapa? Sewenang – wenang dan semena – mena, meski kedua kata ini beda makna, tetapi dampak yang ditimbulkan sama. Tindakan sewenang – wenang atau pun perbuatan semena – mena membuat orang lain merasa tersiksa, teraniaya, terhina, dan menderita.

 Tindakan sewenang – wenang atau semena – mena bisa berupa ucapan hingga sikap dan perilaku perbuatan. Bahkan, tak jarang melalui tekanan dan teror mental.

Merujuk kepada Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI), sewenang – wenang berarti tidak mengindahkan hak orang lain; dengan semau-maunya;  dengan kuasa sendiri. Karena itu tindakan sewenang –wenang bersinggungan dengan mereka yang memiliki wewenang , apa pun bentuk wewenang itu, mulai dari yang sederhana, lingkup terkecil hingga wewenang yang lebih luas. Sedangkan semena – mena berarti tidak berimbang, berat sebelah atau perilaku yang tidak berimbang.

Perilaku yang mencerminkan diskriminasi, tidak manusiawi dan tidak menghargai hak asasi. Sementara petuah luhur yang terurai jelas dalam falsafah bangsa kita mengajarkan agar kita menghormati keberadaan orang lain sebagaimana layaknya kita menghargai diri sendiri.

Berlaku sewenang – sewenang dan semena – mena kepada orang lain, sama artinya mengingkari pengakuan terhadap martabat manusia dengan segala hak asasinya yang harus dihormati.

Kedua tindakan tadi tak ubahnya pengingkaran terhadap eksistensi sila kedua Pancasila, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Padahal Pancasila merupakan kesepakatan bangsa yang dijadikan pedoman hidup sehari –hari. Pedoman dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Jika kita masih merasa dan sadar diri sebagai warga negara Indonesia, tentu memiliki kewajiban menerapkannya nilai – nilai yang terkandung di dalamnya, di antaranya mengembangkan sikap tidak semena – mena terhadap orang lain.

Mengingat perilaku tidak semena – mena menyangkut karakter seseorang, maka perlu diedukasi sejak dini, mulai dari anak – anak di lingkungan terkecil keluarga, hingga terbentuk dan tumbuh berkembang pada lingkungan yang lebih luas lagi.

Yang paling sederhana dengan mengedukasi untuk senentiasa bersikap menjadi pendengar yang baik, mau mendengarkan orang lain, rendah hati, belajar bijak, tak menganggap semua orang sama, dan menghargai pendapat orang lain. Tak kalah pentingnya patuh terhadap norma seperti tidak mengendarai kendaraan bermotor melawan arah, tidak ugal- ugalan di jalan raya, tidak nyelonong ke jalur busway, tidak menutup jalan umum untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Dalam hidup bertentangga misalnya tidak parkir kendaraan sembarangan di depan rumah orang, tidak membuang sampah, kotoran atau limbah ke tempat orang , dan tidak membuat bising atau kegaduhan di lingkungan. Dan, masih banyak lagi perbuatan yang “tidak” pantas dilakukan seperti memaki orang di tempat umum, menghardik, apalagi kalau sampai terjadi perlakuan diskriminasi dan persekusi yang nyata melanggar hak asasi.

Ini beberapa contoh sikap yang semena – mena  yang perlu dihindari

Lantas bagaimana menata diri agar tidak bertindak sewenang – wenang. Seperti kita tahu tindakan sewenang – wenang lebih menyangkut tindakan dari seseorang yang memiliki kewenangan. Berbuat sewenang – wenang berarti melakukan perbuatan atas maunya sendiri. Karena kewenangan atau kekuasaan yang melekat pada dirinya lantas bertindak semaunya tanpa mempertimbangkan hak orang lain yang juga memiliki hak yang sama atas hidupnya. Tak jarang, karena memiliki kekuasaan, keluarga penguasa, orang dekat penguasa atau ngaku – ngaku dekat dengan kekuasaan sering bertindak  sewenang – wenang. Tindakan yang melanggar norma dan etika, sikap perbuatan yang lebih memetingkan dirinya, ketimbang orang lain.Kalau pun membuat kebijakan, tanpa mau  mengakomodir kepentingan khalayak, tetapi lebih memihak kepada kerabat dan konco dekat.

Agama apa pun mengajarkan kepada siapa pun yang diberi kekusaan hendaknya dijalankan dengan penuh amanah. Jangan gunakan kekuasaan untuk menyakiti hati rakyat.

Pitutur luhur Jawa pun mengatakan “lamun sira sekti, aja mateni” – yang  artinya, jika punya kekuasaan, tidak lantas kemudian akan bertindak semena-mena.

Mari sadar diri, kekuasaan itu dari rakyat, untuk rakyat. (*)

Tags:
kopipagiKopi Pagi

Reporter

Administrator

Editor