SEJUMLAH kasus bunuh diri mengawali perjalanan tahun 2020. Setidaknya yang terangkat ke permukaan, terdapat dua kasus bunuh diri pada hari yang sama, Selasa, 14 Januari 2020.
Kasus pertama dilakukan siswi kelas 2 SMPN dengan melompat dari lantai 3 sekolahnya. Pelajar itu diduga depresi atas perceraian kedua orangtuanya dan berlanjut dengan meninggalnya sang ibu. Ia kemudian tinggal bersama sang nenek di Depok, Jawa Barat.
Kasus kedua, wanita yang berprofesi dokter mengakhiri hidupnya dengan gantung diri menggunakan kain di kamar salah satu hotel di Denpasar, Bali. Belum diperoleh informasi dugaan penyebab bunuh diri dokter muda tersebut.
Kita menduga tak hanya dua kasus bunuh diri di awal tahun ini. Masih terdapat kasus yang lain dengan beragam latar belakang penyebabnya. Boleh jadi kasusnya tidak mencuat ke permukaan atau tidak dilaporkan ke polisi untuk menjaga privacy karena beragam alasan.
Yang perlu dilakukan adalah mencegah kasus terulang. Mengedukasi agar bunuh diri tidak dijadikan jalan pintas menyelesaikan masalah.
Meski kita semua menyadari bahwa bunuh diri bukan menyelesaikan masalah, tetapi kasunsya tiada henti.
Merujuk data muthakir Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya setiap jam terjadi satu kasus bunuh diri di Indonesia. Angka ini menempatkan negeri kita pada posisi 103 dari 183 negara dan nomor 9 di ASEAN. Angka bunuh diri di Indonesia mencapai 10 ribu kasus dalam setahun, sedangkan di dunia tercatat 800 ribu orang meninggal akibat bunuh diri. Angka ini lebih tinggi dari korban perang.
WHO juga mencatat bunuh diri di kalangan remaja pria berusia 15 – 20 tahun menjadi penyebab utama ketiga setelah kecelakaan di jalan dan kekerasan antar -manusia. Sementara di kalangan remaja putri menjadi pembunuh terbesar kedua setelah saat kelahiran.
Maknanya, kaum remaja memiki potensi melampiaskan bunuh diri dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi akibat depresi.
Ini patut menjadi perhatian karena depresi akan menjadi masalah kesehatan jiwa. Terlebih pada 2020, Indonesia akan mendapatkan "bonus" demografis yang diprediksi akan lebih banyak orang yang mengalami depresi, situasi yang dapat memicu pemikiran bunuh diri. Bahkan, WHO memprediksi depresi akan menjadi penyakit dengan angka tertinggi kedua, setelah penyakit jantung.
Jika demikian halnya, peduli mencegah bunuh diri perlu menjadi perhatian kita semua.Dalam lingkup kecil mulai dari keluarga, masyarakat hingga pemerintah sebagai pengambil kebijakan.
Negeri “Sakura” yang memiliki sejarah panjang terkait aksi bunuh diri akibat rasa malu dan tidak hormat, belakangan berhasil menekan angka bunuh diri secara dratis. Mengapa? Jawabnya, selain perbaikan perekonomian, utamanya efek dari program pencegahan bunuh diri yang mencakup peningkatan layanan psikologis baik melaui online maupun kelompok relawan untuk membantu masyarakat yang mengalami depresi.
Kita memiliki peluang melakukan hal yang sama melalui edukasi, bimbingan dan layanan psokologis, utamanya ditujukan kepada para remaja yang berisiko terkena depresi. Ini langkah positif mencegah bunuh diri. (*).