JAKARTA - Tim hukum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan menilai pemggunaan sprint lidik yang digunakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada penangkapan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan tersangka lain bertentangan dengan peraturan.
Koordinator tim lawyer PDIP, Teguh Samudera mengatakan dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 Pasal 70B menyatakan 'Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang – Undang ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku'.
Sedangkan Pasal 70C menyatakan 'pada saat Undang – Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai, harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Undang – Undang ini'.
"Penggunaan Sprint Lidik lama guna melaksanakan OTT pada masa kepemimpinan Pimpinan KPK yang baru tentu saja bertentangan dengan ketentuan," ujarnya dalam konferensi pers di kantor DPP PDI Perjuangan, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020).
Lebih lanjut tim hukum PDIP juga memandang upaya penggeledahan dan penyegelan yang hendak dilakukan penyidik KPK di Gedung PDI Perjuangan pada 9 Januari 2020 merupakan perbuatan melanggar hukum dan melanggar kode etik. Pasalnya upaya KPK tersebut tidak memiliki ijin tertulis dari Dewan Pengawas.
Menurut Teguh hal itu disadari pada UU 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 37 B ayat (1) huruf (b), pada intinya menyatakan 'Dewan Pengawas bertugas memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan', dan Pasal 47 ayat (1) menyatakan 'Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas'.
"Oleh karena itu menurut hukum, izin tertulis dari Dewan Pengawas adalah hal yang wajib dan mutlak harus ada," tandasnya.
Teguh juga memandang konstruksi hukum pada kasus suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politisi PDIP Harun Masiku adalah perkara oenipuan dan pemerasan.
"Bahwa dari pandangan kami, konstruksi hukum yang terjadi sebenarnya adalah perkara penipuan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu," tegas dia. (ikbal/win)