Oleh S Saiful Rahim “INI main-main bukan, sih?” kata Dul Karung sambil masuk ke warung Mas Wargo. Sebelum melangkahi ambang pintu, seperti biasa, dia memberi salam dengan ucapan “assalamu alaykum” yang fasih. Sehingga orang-orang yang sedang riuh mengobrol tiba-tiba “cep klakep” terdiam. Beberapa di antara mereka ada yang langsung menjawab “wa alaykum salaaam” dengan tidak kalah fasih. “Ngomong yang benar, dong. Jangan nggak ketahuan ujung pangkalnya begitu,” tanggap orang yang duduk di dekat pintu masuk yang kemudian bergeser memberi ruang untuk Dul Karung masuk. “Hlo! Perhatikan dulu omonganku! Kalau tak jelas barulah tanggapi,” jawab Dul Karung yang sambil jalan tangannya mencomot sepotong singkong goreng yang masih kebul-kebul. “Apanya yang jelas?” sambar orang yang duduk di ujung kanan bangku panjang dengan nada tinggi karena menahan kesal. “Duuul. Dul Karuuung.... Tadi tanpa jelas ujung pangkalnya Tuan bilang, ini main-main atau bukan, sih? Itu kan kalimat yang tak jelas ujung pangkalnya, Tuaaan,” ujar orang yang duduk di ujung kiri bangku panjang. Tampangnya cerdas dan dandanannya necis rapi. Tapi kejengkelannya tampak dari sikap sinisnya yang menyebut Dul Karung dengan panggilan Tuan. “Tadi saya bilang, ini main-main atau bukan? Nah, kalau kata-kata, atau kalimat saya itu disingkat, maka singkatannya bisa menjadi IMB. (I)ni (M)ain-main, (B)ukan? Nah! itulah intinya,” kata Dul Karung dengan dada yang sedikit dibusungkan. “Sedangkan ihwal IMB yang merupakan suatu peraturan “Izin Mendirikan Bangunan” yang konon akan dicabut, menurut saya itu tidak benar. Tetapi jangan salah paham. Yang saya maksud tidak benar itu bukan peraturannya, tapi kemauan mencabutnya,” kata Dul Karung yang, walaupun agak kusut tapi, dipahami hadirin. Sehingga hampir semua pengunjung warung menganggukkan kepala. “Tetapi menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang, selama ini IMB menyulitkan perkembangan industri properti,” jawab orang yang duduk selang tiga di kanan Dul Karung. “Astaga! Menteri jangan pakai kacamata cukong-cukong properti, dong. Buat mereka yang mencari duit di sana, semua aturan atau surat izin apapun cuma bikin ribet saja. Bagaimana menata ruang dan kota, kalau orang bisa membangun seenaknya? IMB justru harus menjadi instrumen pengendalian pemanfaatan ruang. Kalau IMB tak diperlukan lagi, semua bangunan menjadi liar. Duitlah lagi-lagi yang menjadi penentu seseorang tinggal di mana dan bagaimana. Dan tanpa IMB, hilanglah pintu penangkal penggunaan tanah secara hantam kromo,” sambar orang yang entah siapa dan duduk di sebelah mana. “Stop, stop, stop! Jangan bicarakan soal IMB lagi. Selama ini sebagian dari kita kan hidup di bawah atap rumah tanpa IMB, dan ngobrol ngalor-ngidul, siang malam, di warung kopi tanpa IMB. Lalu dalam tempo yang relatif singkat pihak Polri secara misterius dua kali menemukan IMB dalam demonstrasi besar,” kata Dul Karung seraya seenaknya ke luar dari warung kopi Mas Wargo. “Hei tunggu dulu, Dul! Kau jangan pergi begitu saja. Apa maksudmu mengatakan pihak Polri dua kali menemukan IMB dalam dua kali demonstrasi besar. Demonstrasi besar apa itu?” teriak salah seorang dari dalam warung Mas Wargo, menahan dan menanyai Dul Karung yang sudah berada di luar warung. “Demonstrasi besar pertama maksudku demonstrasi yang terjadi setelah ada pengumuman pemenang Pemilihan Presiden yang lalu. Demonstrasi besar kedua yang terjadi pada hari Selasa dan Rabu lalu,” jawab Dul Karung segan-seganan. “Lalu apa maksudmu mengatakan pihak Polri menemukan IMB dalam dua demonstrasi besar itu? Apa yang kau maksud dengan IMB itu?” serentak tanya beberapa orang dengan nada penasaran. “Oo ituuu. IMB maksudku “isi mobil, batu!” Kan di demo besar yang dulu, menurut pihak Polri, mereka menemukan ambulans berisi batu. Dalam demonstrasi yang baru lalu pun polisi menemukan mobil ambulans berisi batu juga. Bedanya dulu ambulansnya milik parpol, yang sekarang milik PMI. Sudah ya! “Assalamu alaykum,” kata Dul Karung sambil nyelonong pergi. ( *** )
Dul Karung
Ini Main-main Bukan
Jumat 27 Sep 2019, 06:47 WIB