Oleh S Saiful Rahim DUL Karung baru saja akan menempatkan bokongnya di bagian kosong bangku panjang di depan Mas Wargo. Tiba-tiba terdengar ada orang memberi salam dengan ucapan “punten” yang santun. Spontan dia mengangkat dan menolehkan wajahnya ke arah pintu masuk. “Eh, Iyan! Kumaha? Damang?” Sapa Dul Karung seraya bertanya kabar dan kesehatan dalam Bahasa Sunda yang santun tetapi keras suaranya. Nyaris setengah berteriak. “Siapa, Dul? Teman lu?” tanya entah siapa dan duduk di sebelah mana. “Wah, bukan teman lagi. Sudah seperti saudara saja. Namanya Taryan, tetapi teman-teman memanggil Iyan saja. Atau Tarzan, ketika setengah mengejek. Ayahnya dulu jual tekstil di kaki lima Bendungan Hilir yang dulu lazim kami sebut Pasar Gusuran. Karena areal tanah yang baru digusur, langsung dijadikan pasar liar,” tutur Dul Karung. “Iya, hubungan kami sudah lebih dari perkawanan. Tapi sudah sebagai bersaudara saja. Dulu kalau membawa tekstil dagangan ayah saya gunakan becak, Si Dul ini selalu membantu mendorong,” cerita Iyan yang diiyakan oleh Dul Karung dengan anggukan kepala yang terus menerus. “Ketika kami berangkat remaja, Iyan jadi sopir angkutan kota yang dulu namanya Oplet. Entah diambil dari bahasa apa. Nah, Oplet itulah yang kemudian disebut Mikrolet, atau Angkot. Waktu itu Jl. Jenderal Sudirman cuma satu dan kecil. Bus kota belum ada. Opletlah yang melayani penumpang dari Harmoni hingga CSW, lokasi yang sekarang pun masih disebut CSW juga. Padahal itu singkatan nama perusahaan kontraktor jalan dan bangunan yang berkantor di sana. Sekarang mungkin telah ganti nama atau ditutup,” tutur Dul Karung. “Lalu kerjamu apa Dul? Waktu Bung Iyan menggenjot becak bawa dagangan ayahnya, di tanjakan kau bantu mendorong. Kalau di Oplet apa yang kau berbuat?” tanya orang yang duduk di ujung kiri bangku panjang. “Mencari dan teriak-teriak memanggil, serta sekalian menarik ongkos dari penumpang, sambil berdiri di pintu belakang Oplet. Dulu pintu naik turun penumpang Oplet di belakang. Bukan di samping seperti Mikrolet atau Angkot sekarang,” jelas Iyan. “Dia tidak pernah menggantikan Bung Iyan menyetir?” tanya orang yang duduk selang tiga di kanan Dul Karung. “Mustahillah. Sampai minggu depan nanti pun Si Dul belum tentu mampu nyetir,” jawab entah siapa dan duduk di sebelah mana. “Enak saja kau ngomong. Sepeda yang rodanya cuma dua, sejak 40 tahun lalu aku sudah tangkas mengendarainya, apalagi mobil yang rodanya empat. Keciiiiil!” kata Dul Karung sambil menunjukkan ujung kelingkingnya. Dan gelak tawa yang meledak pun terdengar di tiap sudut warung. “Eh, ngomong-ngomong, saya dengar nasib sopir Transjakarta kasihan deh. Karunya ih!” Kata Iyan tiba-tiba sambil menggidikkan bahunya. “Memang kenapa? Dari sejak ada Transjakarta, orang-orang berebut ingin bekerja di sana. Hanya menjadi tukang cuci mobil pun alhamdulillah!” Kata orang yang duduk dekat pintu masuk warung. “Katanya para sopir bus Transjakarta yang tergabung dalam “Ikatan Pramudi Lintas Operator Busway” sedang gelisah. Mereka memprotes kebijakan yang mereka anggap tidak bijaksana dan amat jauh dari bijak. Yaitu mewajibkan mereka membayar denda berlipat-lipat mahalnya dari tarif yang ditentukan oleh Undang-Undang No 22 Tahun 2009. Misalnya, ada denda yang ditentukan UU No 22/2009 sebesar Rp 250.00, menjadi Rp 4.5 juta. Pokoknya kalau denda UU No 22/2009 yang paling mahal Rp 1 juta, denda Operator Transjakarta paling murah Rp 3 juta,” kata Iyan membuat Dul Karung berlipat-lipat juga terheran-herannya. “Tapi ada yang bilang para sopir sudah diberi tahu hal itu oleh pejabat Operator Transjakarta, dan mereka setuju. Lagi pula denda itu berlaku bilamana sopir, atau istilah mereka pramudi, melanggar aturan,” kata orang yang entah siapa dan duduk di sebelah mana. “Assalamu alaykum. Ayo Iyan kita pergi, sebelum Mas Wargo membut aturan dan tarif denda bagi semua yang berutang di warung ini,” kata Dul Karung sambil setengah menarik tangan Iyan ke luar warung kopi Mas Wargo. (***)
Dul Karung
Berlomba Gede Denda
Sabtu 20 Jul 2019, 06:46 WIB