Uncategorized

Sri Lanka: Jatuh Cinta dengan Musuh, Kisah dari Perang Saudara

Sabtu 15 Jun 2019, 22:15 WIB

SRI LANKA- Melihat Gauri Malar dan Roshan Jayathilake bermain dengan anak mereka yang berumur 11 bulan, Anda tak akan menyangka bahwa 10 tahun lalu mereka berdua adalah musuh bebuyutan. Gauri, 26 tahun, adalah bekas tentara anak dari kelompok separatis Macan Tamil, yang berperang melawan rezim yang mereka anggap zalim, yang ditopang oleh orang seperti Roshan. Sementara bagi Roshan, Macan Tamil adalah pemberontak yang layak dibenci karena pengeboman-pengeboman yang mereka lakukan telah memakan korban-korban tak berdosa. "Dulu kami melihat satu sama lain sebagai musuh," kata Roshan, 29 tahun, kepada BBC Crossing Divides, program tentang orang-orang yang bergabung mengatasi dunia yang terpecah belah. "Kini kami menikah dan berbahagia. Anak kami ini simbol dari cinta kami," katanya. Bagaimana permusuhan itu berubah menjadi cinta? 'Seorang teman saya terbunuh' Konflik di Sri Lanka bermula pada 1983 ketika separatis Tamil - yang marah karena meningkatnya nasionalisme di kalangan mayoritas Sinhala - membunuh 13 orang tentara dalam sebuah sergapan. Kejadian ini menimbulkan kerusuhan anti-Tamil yang memakan korban jiwa ratusan orang kelompok minoritas itu. Konflik ini menjadi bagian hidup Gauri. Pada Januari 2009, traktor yang dikendarai kakaknya, Subramaniyam Kannan, dihantam bom yang berasal dari kawasan Vishwamadu yang dikuasai Macan Tamil.   Gauri mencoba mencari kakaknya, tapi malahan tertangkap oleh Macan Tamil. Ia yang berusia 16 tahun ketika itu diberi pelatihan militer selama seminggu dan dikirim ke medan perang. "Saya melihat orang ditembak mati," kata Gauri. "Saya tak bisa mandi, tak pernah makan secara normal. Beberapa kali saya mempertanyakan apakah masih adanya untuk hidup," katanya. Buat Roshan, perang menghampiri dirinya di tahun 2004. Usianya 14 tahun ketika itu. Sebuah bom pemberontak meledak saat perayaan Tahun Baru Hindu di desa tempat keluarganya tinggal di Distrik Vavuniya. Ia marah karena bom membunuh anggota militer maupun warga sipil. Ia pun menyusul ayah dan beberapa sepupunya mendaftar ke Departemen Keamanan Sipil. "Hampir setiap hari kami dengar tentang serangan," kata Roshan. "Orang-orang ketakutan dan tak bepergian bersama karena takut terbunuh," katanya. Sebanyak 100.000 orang diperkirakan menjadi korban sebelum perang ini berakhir pada tahun 2009. Gauri berperang selama sekitar sebulan sebelum komandannya menyadari ia punya kelainan jantung dan membebaskannya. Gauri pun menyerahkan diri kepada tentara Sri Lanka dan mengikuti program rehabilitasi pemerintah. Sekalipun sempat meyakini perjuangan kaum separatis, tetapi menghabiskan waktu bersama orang Sinhala membuat Gauri menyadari bahwa mereka adalah "manusia biasa". Ia akhirnya bergabung dengan Departemen Keamanan Sipil. Pihak berwenang membangun peternakan untuk komunitas termasuk di kawasan Udayankattu, dan di sini Gauri bertemu dengan calon suaminya. Ketika Gauri ditempatkan di sana tahun 2013, Roshan sudah di sana selama setahun. Roshan merana karena ia tak bisa berbahasa Tamil sehingga tak bicara dengan komunitas di kawasan itu. Gauri kemudian menjadi penerjemah untuk Roshan, dan ini mengubah hidup mereka. Pelan-pelan perasaan mereka satu sama lain menjadi jelas. "Saya ingin memastikan ia baik-baik saja, dan saya bawakan bekal untuknya," kata Gauri. Ketika saya pergi untuk cuti, ia menangis," kata Roshan. "Ia bahkan memastikan apakah saya punya cukup uang untuk bertahan." Ketika mengumumkan hubungan, mereka menghadapi prasangka yang bisa digambarkan dengan komentar keluarga Roshan. "Banyak perempuan Sinhala, kenapa kamu malah mencari orang Tamil?" Ibu Roshan menolak pernikahan mereka. Demikian pula kakak perempuan Gauri, seorang bekas Macan Tamil, yang beranggapan menikahi laki-laki Sinhala berarti mencabut Gauri dari komunitasnya. Menurut pasangan ini, mereka berhasil memenangkan hati keluarga setelah melihat keduanya memperlakukan satu sama lain dengan rasa cinta dan hormat. "Pada akhirnya keadaan membaik," kata Gauri terutama setelah ibu Roshan melihat kehadiran cucunya. "Bidadari kecil kami ini membuat kami jadi lebih dekat," katanya. Pasangan ini menikah tahun 2014 dan membawa anak mereka ke kuil Hindu dan Buddha. Bagi keduanya, perbedaan hanya bagian dari masa lalu. Namun seiring serangan bertepatan minggu Paskah tahun ini yang memakan 250 korban jiwa, sentimen anti-Muslim meningkat. Pasangan ini khawatir perpecahan baru bisa membuat negara mereka kembali ke dalam konflik. "Bukan hanya satu pihak yang meninggal dalam perang," kata Gauri. "Banyak korban tak peduli etnis atau pun agama mereka." "Kita tidak butuh perang," katanya.(BBC)

Tags:

admin@default.app

Reporter

admin@default.app

Editor