Oleh S Saiful Rahim “TERNYATA yang ramai dikunjungi orang sekarang ini bukan cuma pasar dan mal-mal, tapi juga kuburan,” kata orang berkopiah yang masuk ke warung kopi Mas Wargo tanpa memberi salam. “Ni orang dadanannye rapi. Pake kopiah lagi. Eee masuk gak pake salam lekum. Persis kayak batang pohon pisang hanyut,” kata Dul Karung dengan berbisik kepada orang yang duduk di sebelahnya, tetapi dengan suara yang agak ditinggikan. Maksudnya, walaupun ucapannya itu bergaya bisikan tapi terdengar oleh seluruh orang yang ada di warung. “Memberi salam itu sunah, walaupun menjawab salam wajib. Tapi sudah menjadi lazim, menjadi kebiasaan umum, tidak ke semua tempat orang memberi salam. Misalnya masuk ke pasar, ke bandara, terminal, bioskop, pasar, mal, dan ke toko. Jadi apa salahnya kalau aku masuk ke warung kopi ini tanpa salam,” balas orang yang baru masuk itu dengan panjang lebar. Sehingga bukan Dul Karung saja yang terdiam, semua hadirin pun “cep klakep” kayak berang-berang terpijak. “Di Jakarta kalau bulan Puasa atau bulan Ramadan memang begitu, Pak. Ramai dan meriah-riuhnya sama, tapi tujuannya berbeda. Kalau yang ke mal atau toserba, tujuannya beli pakaian buat Lebaran. Kalau yang ke pasar tradisional, atau “pasar kaget” tujuannya beli bahan kue yang akan diolah jadi makanan untuk buka puasa. Kalau yang meramaikan kuburan, tujuannya lebih beraneka macam,” tutur orang yang duduk di ujung kiri bangku panjang. “Apakah yang Anda maksudkan dengan mengatakan tujuan mereka yang meramaikan pekuburan lebih aneka macam?” tanya si orang berkopiah yang sebelumnya tidak pernah tampak di warung Mas Wargo. “Oh, mereka itu ada yang datang untuk menziarahi makam leluhur atau keluarganya. Ada yang datang sebagai penjual jasa baca doa. Penjual jasa baca doa ini pakaiannya khas. Pakai kopiah, pakai baju koko dan pakai sarung. Tangannya mengempit payung. Karena itu mereka sering disebut “pasukan payung.” Sama dengan sebutan yang diberikan kepada “Pasukan Terjun” TNI/AU. Selain itu ada juga penjual jasa membersihkan makam yang diziarahi. Ada yang menjual bunga rampai dan “air mawar” untuk ditabur dan disiramkan ke pusara makam, dan ada juga yang menjual minuman atau makanan kecil,” kata orang yang duduk di sebelah Dul Karung. “Anda tahu betul profesi masyarakat pekuburan, ya? Apakah Anda salah seorang profesional di sana?” tanya entah siapa dan duduk di sebelah mana, mengundang tawa dan senyum dari banyak hadirin. “Oh, bukan Pak. Hanya masa kanak-kanak saya sama seperti Dul Karung. Pagi kami sekolah di SD yang letaknya berseberangan dengan areal pekuburan yang kini dikenal dengan nama pemakaman Karet Bivak. Siang hari kami bersekolah di madrasah “Al-Hidayah Al-Khairiyah” di dekat situ juga. Karena itu kami tahu kehidupan orang-orang di pemakaman,” kata orang duduk di sebelah Dul Karung lagi. “Lalu orang berseragam yang tadi kulihat banyak juga, apa saja kerjanya di sana?” tanya orang yang berkopiah itu lagi. “Berseragam?” tanya orang yang duduk di ujung kiri bangku panjang tiba-tiba. “Iya. Mereka berseragam seperti petugas atau pekerja suatu instansi, gitu lho.” “Oh mungkin mereka aparat ketertiban, atau entah apalah namanya. Kan kalau kuburan ramai pengunjung, seperti menjelang atau selama Lebaran, para gelandangan dan pengemis yang lazimnya disebut “gepeng” ramai pula menyerbu areal pekuburan. Nah, orang berseragam yang tampak turut meramaikan itu mungkin aparat yang ditugaskan membersihkan pekuburan dari “gepeng” agar para peziarah, juga penjual jasa dan dagangan, tidak terganggu,” kata orang yang duduk tepat di sebelah kiri Dul Karung. “Kalau begitu “gepeng” yang lazim dicap penganggur yang malas dan selalu dikejar-kejar itu, justru adalah penyedia lapangan kerja dong? Bukankah karena ada “gepeng,” kini ada lapangan kerja baru, yaitu mengawasi pekuburan pada ujung Ramadan sampai hari-hari awal Lebaran,” kata orang yang duduk terselang dua orang di kanan Dul Karung. “Ah, sudahlah! Pusing aku. Mau belanja buat Lebaran dan bayar zakat fitrah belum punya duit, eh diajak ngobrol soal “gepeng”. Padahal sudah sejak lama sekali koran menulis banyak “gepeng” yang punya rumah bagus dan sawah luas di kampung,” kata Dul Karung sambil meninggalkan warung kopi Mas Wargo. ( *** )
Dul Karung
“Gepeng” Ternyata Penyedia Lapangan Kerja
Sabtu 25 Mei 2019, 06:17 WIB