JAKARTA- Setinggi-tingginya bangau terbang akhirnya hinggap di bubungan juga. Sejauh ilmu diraih dan jabatan tinggi didapat, wayang jugalah yang tetap menjadi obsesinya. Demikianlah Ki Gunarto Gunotalijendro, SH. Dalang wayang kulit yang meraih gelar sarjana hukum dari UGM ini menjadi konsultan, direktur bisnis, namun merasa asyik masyuk di depan layar dan memainkan wayang semalam suntuk. Ki Gunarto, 56, akan tampil di Monas, sebelah timur cawan, untuk memeriahkan HUT ke-48 Pos Kota, Sabtu malam (14/4) besok, menyuguhkan lakon Pancasonya Wreksakaning Bumi. Lakon atau cerita ini jarang dipentaskan oleh dalang-dalang wayang kulit lainnya. Padahal, pesan moralnya sangat kontekstual dengan situasi Indonesia dewasa ini. Pancasonya Wreksakaning Bumi merupakan pusaka yang membuat sang pemilik tidak akan meninggal selama masih menginjak bumi. “Setiap orang boleh memiliki pusaka dan berbuat apa yang diinginkannya. Bisa untuk kebaikan dan kejahatan, tapi pemakainya harus bertanggung jawab. Mereka yang berguru dan mendapat pusaka yang diberikan oleh Tuhan harus paham atas pilihannya. Tentu saja pusaka sebaiknya digunakan untuk kebaikan, “ katanya. Ki Gunarto menyatakan keoptimismeannya bahwa Indonesia akan terhindar dari perang dan kerusuhan, selagi pentas wayang kulit disukai. “Keinginan masyarakat untuk rusuh tersalurkan lewat pertunjukan wayang,“ katanya. “Timur Tengah itu tak pernah ada damai karena di sana tak ada pertunjukkan wayang, “ tegas dalang kelahiran Gunung Kidul, 1962 ini. Sebagai seniman, Ki Gunarto memiliki ciri khas: sejak mula dia mencampur-adukan gaya Solo dan Joga di panggung. Dia menyebutnya “Gagrag Prambanan”—wilayah perbatasan dua kota yang memiliki genre berbeda itu. “Pada awal mendalang saya kesulitan mendapatkan nayaga (penabuh gamelan), karena jarang sekali ada nayaga bisa main dua gaya sekaligus,“ jelasnya. “Akhirnya saya dapatkan di Gunung Kidul, di daerah perbatasan, karena nayaga di sana memang biasa main untuk dua gaya itu, sesuai permintaan penonton,“ katanya. Seni pedalangan didalami secara serius tahun 2000, dengan mendaftarkan diri sebagai anggota sanggar seni Adi Waluyo milik RRI Jakarta, setelah lulus dari Fakultas Hukum UGM tahun 1988 - sesuai permintaan orangtuanya. Memainkan dua gaya penampilan dalam satu panggung bukan tanpa tantangan. Semula dia banyak mendapatkan protes penonton, namun dengan konsistensinya dia bisa diterima. “Akhirnya saya menyebut Gagrag Prambanan itu, “ katanya dengan senyum. Ki Gunarto mendapat julukan dhalang seket salto alias dalam “semalam salto 50 kali”. Karena demikianlah gaya sabetan yang dimainkan. Banyak salto. “Saya tahu malah setelah ada penonton yang kasih ucapan selamat dan kagum dengan salto yang saya mainkan, lalu orang itu bilang telah menghitung saya membuat adegan salto sampai 50 kali,“ katanya. Menurut Ki Gunarto, aksi panggung dengan sabetan tetap penting dalam pertunjukan wayang kulit. Bila gurunya, Ki Mantep Sudharono, dijuluki “dalang setan” dengan aksi sabetannya yang khas, dia memilih adegan salto sebagai cirinya. Dalang adalah hobi dan tugas budaya yang diembannya kini. Dia sudah berkeliling Eropa dan pentas di Jepang, mendalang dan memperkenalkan seni wayang kepada dunia. Namun, Ki Gunarto tidak mengandalkan hidup dari wayang. Sebab, sejak selesai kuliah dia bekerja di perusahaan konsultan tenaga kerja dan membangun perusahaan konsultan sendiri. “Perusahaan saya biasa mengetes pegawai baru,“ kata Direktur PT Indo Psikologi Utama, perusahaan konsultan psikologi tenaga kerja ini. Ki Gunarto menikah dengan dokter gigi dan menjadi ayah dua anak yang kini menginjak remaja. Sebagai seniman tradisional, dia menepis kecenderungan dalang menikahi sinden yang selalu mendampinginya pentas. “Kalau ada sinden yang juga dokter gigi mungkin saya tertarik, ha-ha-ha,“ kelitnya, tentu bercanda. Dia merasa bersyukur telah beristri seorang dokter gigi. - dimas
Selebritis
Wayang Salto 50 Kali di Monas
Jumat 13 Apr 2018, 00:59 WIB