POSKOTA.CO.ID - Kabar duka datang dari dunia seni dan budaya Yogyakarta. Hamzah Sulaiman, seorang seniman senior sekaligus pengusaha kuliner yang telah mewarnai geliat kebudayaan lokal, dikabarkan tutup usia pada Kamis dini hari, 24 April 2025.
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, tidak hanya bagi keluarga dan kerabat, tetapi juga bagi masyarakat Yogyakarta dan pecinta seni tradisional di seluruh Indonesia.
Kabar wafatnya Hamzah pertama kali mencuat melalui media sosial, salah satunya akun Instagram @merapi_uncover yang menuliskan pesan belasungkawa “Turut berduka cita atas wafatnya Bapak Hamzah Sulaiman.”
Postingan ini langsung disambut dengan berbagai komentar dari warganet yang turut menyampaikan rasa kehilangan.
“Selamat jalan Om Hamzah,” tulis akun @hellokiky.
“Turut berduka. Semoga almarhum husnul khotimah,” tambah @basarnas_yogyakarta.
Kepergian tokoh budaya ini menyulut rasa penasaran publik terhadap sosok Hamzah Sulaiman, yang dikenal luas namun tetap menyimpan sisi pribadi yang tak banyak diketahui publik. Berikut ini adalah perjalanan hidupnya yang inspiratif.
Baca Juga: Ini Risiko Paling Parah Jika Kamu Galbay Pinjol
Gelar Kehormatan dan Sosok Raminten
Hamzah Sulaiman dikenal pula dengan gelar kebangsawanan Kanjeng Mas Tumenggung Tanoyo Hamijinindyo, sebuah gelar yang dianugerahkan langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Nama ini merepresentasikan kehormatan dan kontribusi Hamzah terhadap budaya Yogyakarta.
Namun, masyarakat lebih mengenalnya lewat tokoh Raminten, karakter parodi seorang perempuan Jawa yang ia mainkan dalam program ketoprak komedi di Jogja TV. Dengan dandanan nyentrik dan dialog penuh kearifan lokal, karakter Raminten menyuarakan pesan-pesan moral dengan balutan satire yang khas.
Dari karakter inilah nama The House of Raminten, restoran tematik yang mengusung nilai-nilai tradisional Jawa, berasal. Restoran ini bukan hanya tempat makan, tetapi juga ruang budaya yang menyatukan unsur seni, spiritualitas, dan kuliner dalam satu tempat.
Latar Belakang dan Pendidikan
Hamzah Sulaiman lahir sebagai anak bungsu dari pasangan Hendro Sutikno (nama Tionghoanya: Tan Kiem Tik) dan Tini Yuniati (alias Nyoo Tien Nio). Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga berdarah campuran Tionghoa-Jawa yang cukup terbuka dengan berbagai nilai kebudayaan.
Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan mengambil jurusan biologi. Namun, ia tidak menyelesaikan studi di kampus tersebut dan kemudian melanjutkan pendidikannya ke Universitas Sanata Dharma, memilih jurusan bahasa Inggris.
Pendidikan formalnya memang tidak berakhir dengan gelar tinggi, tetapi pengalamannya di luar kampus justru membentuk karakter dan jiwa seninya.
Pengalaman Internasional dan Karier Awal
Pada awal kariernya di tahun 1970-an, Hamzah pernah bekerja sebagai pelayan di kapal pesiar. Pengalaman ini membuka matanya terhadap dunia luar dan memperkaya wawasannya tentang seni, budaya, dan layanan publik. Selama tiga tahun bekerja di luar negeri, ia menyerap banyak inspirasi yang kelak menjadi fondasi dalam membangun bisnis dan identitas seninya.
Setelah kembali ke Indonesia, Hamzah mengambil alih bisnis keluarga, Toko Mirota, dan mengembangkannya menjadi Mirota Batik, sebuah pusat perbelanjaan yang menawarkan produk-produk kerajinan tangan dan batik khas Yogyakarta. Peranannya dalam memperkuat industri UMKM lokal sangat signifikan.
Dunia Seni dan Teater Tradisional
Sebagai seorang seniman, Hamzah tidak hanya terlibat dalam dunia komedi televisi, tetapi juga aktif dalam ketoprak dan pertunjukan seni tradisional lainnya. Karakter Raminten yang ia mainkan bukan sekadar hiburan, tetapi menjadi media penyampai kritik sosial yang tajam namun dikemas dengan jenaka dan sopan.
Ketoprak “Pengkolan” adalah salah satu karya yang melejitkan namanya. Dalam peran sebagai Raminten, ia tampil sebagai sosok perempuan tua Jawa yang lucu dan cerdas, menyindir realitas sosial tanpa kehilangan kesantunan budaya Jawa.
Restoran Budaya: The House of Raminten
Restoran The House of Raminten menjadi simbol kreativitas Hamzah dalam menggabungkan seni dan kuliner. Berlokasi di pusat kota Yogyakarta, restoran ini menawarkan suasana khas keraton Jawa lengkap dengan pegawai yang mengenakan pakaian adat.
Di balik konsepnya yang unik, restoran ini mengusung filosofi “nguri-uri kabudayan” atau menjaga kelestarian budaya. Sajian makanan tradisional, dekorasi khas Jawa, serta pertunjukan seni menjadikan tempat ini sebagai destinasi wisata budaya yang tak hanya menarik wisatawan lokal, tapi juga mancanegara.
Baca Juga: Kabar Baik! OJK Izinkan Debitur Gagal Bayar Lakukan Langkah Ini, Simak Ketentuannya
Kehidupan Pribadi yang Tertutup
Meski dikenal luas sebagai figur publik, Hamzah Sulaiman tergolong tertutup soal kehidupan pribadinya. Ia merupakan anak keempat dari empat bersaudara, dengan nama saudara-saudaranya antara lain: Yangky Iswanti, Siswanto, Ninik Wijayanti, dan Ariyanti.
Hingga kini, belum banyak informasi valid yang bisa diakses publik mengenai istri dan anak-anak Hamzah, begitu pula dengan penyebab pasti kematiannya. Pihak keluarga tampaknya memilih menjaga privasi dalam masa berkabung ini.
Warisan Budaya yang Abadi
Hamzah Sulaiman bukan hanya tokoh penting dalam seni pertunjukan, tetapi juga penggerak industri kreatif lokal. Ia berhasil menjadikan budaya Jawa sebagai identitas komersial yang membanggakan. Dalam dirinya, nilai-nilai tradisi berpadu dengan semangat wirausaha, menjadikannya panutan bagi generasi muda.
Warisan yang ia tinggalkan bukan hanya restoran dan tokoh Raminten, tetapi juga teladan tentang bagaimana berkarya dengan akar budaya, keberanian mengekspresikan diri, dan ketekunan dalam mengembangkan potensi lokal.
Kepergian Hamzah Sulaiman adalah kehilangan besar bagi Yogyakarta dan dunia seni Indonesia. Namun karya-karya serta dedikasi hidupnya akan terus hidup dalam kenangan banyak orang. Melalui karakter Raminten, restoran budaya, dan semangat menjaga kearifan lokal, ia telah menanamkan jejak yang tak akan mudah terlupakan.
Selamat jalan, Kanjeng Mas Tumenggung Tanoyo Hamijinindyo. Semoga perjalananmu damai dan karya-karyamu terus menginspirasi.