POSKOTA.CO.ID - Dalam era pemasaran digital yang berkembang pesat, brand kecantikan internasional kian gencar menggandeng selebriti dunia maya sebagai bagian dari strategi promosi.
Salah satu metode populer adalah pengiriman PR package (Public Relations package), yaitu produk gratis yang dikirimkan kepada influencer guna diperkenalkan kepada publik melalui media sosial.
Namun praktik tersebut tidak selalu berjalan mulus. Baru-baru ini, selebgram ternama Rachel Vennya menjadi sorotan publik setelah membagikan pengalamannya dalam menerima PR package dari brand kosmetik Korea Selatan, TIRTIR, yang berujung pada penahanan barang oleh Bea Cukai Indonesia.
Kasus ini tidak hanya memicu perdebatan di media sosial, tetapi juga membuka diskusi tentang regulasi impor kosmetik di Tanah Air.
Baca Juga: Imbauan Tak Digubris, Ribuan Orang Geruduk Balai Kota Jakarta Lamar Jadi Petugas PJLP
Kronologi Kasus: PR Package TIRTIR Tertahan
Melalui unggahan video di media sosialnya, Rachel Vennya, yang kerap disapa Buna oleh para pengikutnya, menceritakan bahwa ia menerima dua paket produk dari TIRTIR, salah satu brand skincare dan kosmetik asal Korea Selatan yang tengah naik daun. Salah satu paket tersebut berisi 60 cushion produk andalan TIRTIR dengan nilai total mencapai Rp 25 juta.
Rachel mengungkap bahwa rencananya adalah melakukan unboxing dan review produk sebagai bagian dari kerja sama promosi nonkomersial.
Namun, niat tersebut terhambat ketika pihak Bea Cukai tidak mengizinkan keseluruhan paket masuk ke Indonesia tanpa melalui prosedur tertentu.
Dalam video tersebut, Rachel menjelaskan: "Aku sudah memberi penjelasan ke Bea Cukai bahwa barang ini hadiah, dan aku nggak akan jual.
Karena niatku cuma untuk bikin video dan konten tentang cushion tersebut." Namun Bea Cukai hanya mengizinkan 20 cushion untuk dirilis, itu pun dengan kewajiban pembayaran bea masuk.
Rachel kemudian menyampaikan bahwa ia sempat meminta seluruh produk dirilis asalkan bersedia membayar pajak, tetapi solusi tersebut tidak diakomodasi penuh. Sisanya, sebanyak 40 cushion, menjadi milik negara.
Regulasi Impor Kosmetik oleh BPOM dan Bea Cukai
Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM No. 30 Tahun 2017 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetika ke Dalam Wilayah Indonesia, ada batasan jumlah kosmetik yang diizinkan untuk penggunaan pribadi dan non-komersial.
Untuk kepentingan pribadi, jumlah maksimal kosmetik yang dapat diimpor tanpa registrasi adalah 20 pcs per penerima.
Untuk keperluan registrasi produk, jumlahnya dibatasi maksimal 2 pcs per item per kemasan. Sementara untuk kebutuhan pameran atau promosi, diperbolehkan hingga 10 pcs per jenis produk per kemasan.
Di luar ketentuan tersebut, produk dianggap masuk ke dalam kategori impor komersial dan wajib memenuhi persyaratan izin edar dan bea masuk yang berlaku.
Bea Cukai, sebagai otoritas kepabeanan, berperan dalam mengimplementasikan ketentuan tersebut. Ketika jumlah barang yang dikirim melampaui batas, maka sesuai prosedur, sebagian atau seluruh barang dapat disita sebagai milik negara, atau dikenai pajak dan denda yang cukup besar.
Respons Rachel Vennya dan Reaksi Netizen
Meskipun sempat kecewa, Rachel Vennya tetap bersikap santai dalam menyampaikan peristiwa tersebut. Dalam videonya ia menutup cerita dengan berkata, "Nggak apa-apa, aku nggak ambil PR package-nya, biar teman-teman di Bea Cukai yang glowing pakai cushion TIRTIR."
Pernyataan ini menjadi viral di platform X (Twitter) dan TikTok. Banyak netizen menanggapi pernyataan tersebut dengan nada sarkastik dan humoris. Salah satu komentar berbunyi, “Negara sekarang butuh cushion biar glowing.”
Namun tidak sedikit pula yang menyadari bahwa di balik cerita lucu tersebut, terdapat pelajaran penting tentang pentingnya memahami regulasi perdagangan dan kepabeanan di Indonesia.
PR Package dalam Dunia Influencer
Dalam industri kecantikan, PR package telah menjadi praktik standar dalam strategi promosi brand. Influencer dengan jutaan pengikut seperti Rachel Vennya sering kali menjadi target utama distribusi produk oleh brand global, terutama dari Korea Selatan yang dikenal agresif dalam ekspansi pasar Asia Tenggara.
Namun di sisi lain, belum banyak influencer yang memahami aspek legal dari pengiriman produk lintas negara. Tanpa dokumen pendukung yang memadai dan tidak sesuai kuota ketentuan, PR package bisa dianggap sebagai bentuk impor ilegal atau berpotensi merugikan pemasukan negara.
Kasus Rachel Vennya menjadi contoh nyata bahwa status sebagai hadiah tidak serta-merta membebaskan produk dari ketentuan hukum.
Terlebih lagi, Bea Cukai tidak memiliki mekanisme untuk membedakan konten hiburan dengan aktivitas komersial bila barang masuk melebihi batas wajar.
Dampak terhadap Brand dan Influencer
Kasus ini dapat menimbulkan beberapa dampak, baik bagi pihak brand maupun influencer:
- Kerugian Materiil dan Reputasi: Brand seperti TIRTIR bisa kehilangan momentum promosi bila barang tidak sampai ke tangan influencer. Influencer pun bisa kesulitan menyelesaikan komitmen konten promosi.
- Komplikasi Hukum: Jika tidak sesuai regulasi, baik pengirim maupun penerima dapat dikenakan sanksi administrasi hingga denda.
- Edukasi Regulasi: Kasus ini menyadarkan pelaku industri akan pentingnya memahami hukum ekspor-impor dan registrasi produk kosmetik.
Baca Juga: Jadwal Pelaksanaan UTBK SNBT 2025 Resmi Dimulai Hari Ini, Cek Selengkapnya
Solusi dan Edukasi untuk Praktik PR Package yang Legal
Agar peristiwa serupa tidak terulang, berikut beberapa langkah preventif yang dapat diterapkan oleh influencer dan brand:
- Mengajukan dokumen pemberitahuan PR package ke Bea Cukai sebelum pengiriman.
- Mencantumkan surat pernyataan bahwa barang tidak diperjualbelikan.
- Memastikan jumlah produk tidak melebihi batas maksimal penggunaan pribadi.
- Melakukan kolaborasi dengan distributor resmi yang telah memiliki izin edar BPOM.
Beberapa brand bahkan kini memilih untuk mengirimkan produk dari dalam negeri melalui distributor lokal yang telah teregistrasi secara legal untuk menghindari kendala kepabeanan.
Kasus Rachel Vennya dan PR package TIRTIR bukanlah semata cerita lucu di media sosial, tetapi menjadi titik refleksi penting tentang kompleksitas antara kreativitas pemasaran, regulasi perdagangan, dan kepatuhan hukum.
Influencer kini dituntut tidak hanya pandai membuat konten, tetapi juga melek regulasi agar tidak terjebak dalam polemik yang berpotensi merugikan.
Dengan pertumbuhan industri kosmetik yang terus meningkat dan meningkatnya kolaborasi antara brand global dan konten kreator Indonesia, pemahaman atas regulasi impor kosmetik menjadi suatu keharusan yang tidak dapat lagi diabaikan.