POSKOTA.CO.ID - Di tengah deru pemberitaan nasional dan isu kriminalitas yang berulang, muncul satu aksi simbolik dari masyarakat Dusun Balam Timur, Desa Bangko Bakti, Kecamatan Bangko Pusako, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Riau, yang menggugah publik.
Bukan karena kerusuhan, bukan karena demonstrasi anarkis, namun karena sebuah spanduk sepanjang lima meter yang mengandung pesan sangat menyentak: “Selamat Datang di Kampung Narkoba.”
Ungkapan yang tertulis dalam spanduk tersebut bukanlah seruan sinis, melainkan manifestasi dari kekecewaan dan kegelisahan masyarakat atas maraknya peredaran narkoba, khususnya sabu-sabu, di lingkungan mereka.
Dalam sekejap, foto spanduk itu viral di media sosial, mengundang respons publik yang beragam, mulai dari rasa prihatin hingga ejekan sarkastik terhadap kinerja aparat penegak hukum.
Latar Belakang: Titik Jenuh Masyarakat
Warga Dairi RT 19, Dusun Balam Timur, menyatakan keresahan mereka melalui media yang tidak biasa bukan lewat jalur birokrasi formal atau diskusi komunitas biasa, tetapi lewat pemasangan spanduk berukuran besar di ruang publik. Pesannya sangat gamblang dan emosional:
“Masyarakat Dairi Balam Timur Bangko Bakti Sangat Resah Karena Maraknya Narkoba (Sabu-sabu) di Daerah Kami, Bagaimana Generasi Muda Ke Depannya..? Haruskah Kita Diam Dengan Kehancuran Ini…? Di Mana Keberadaan Penegak Hukum Saat ini?”
Sukino, salah satu warga, menjelaskan bahwa keberadaan spanduk tersebut tidak lain merupakan bentuk keputusasaan masyarakat yang merasa diabaikan oleh pihak berwenang. Banyak warga merasa bahwa suara mereka selama ini hanya menjadi angin lalu tanpa aksi nyata.
Kondisi Sosial: Ketidakamanan yang Membayangi
Menurut tokoh pemuda setempat, Sakban, wilayah mereka sudah tidak lagi aman sejak peredaran narkoba meluas.
Ia menyebutkan bahwa hampir setiap hari warga mengalami tindak kriminal seperti pencurian, yang diduga kuat dilakukan oleh pecandu narkoba. Lingkungan tempat tinggal berubah menjadi zona yang tidak nyaman, di mana rasa curiga dan ketakutan menguasai interaksi antarwarga.
“Spanduk itu dipasang sejak pagi. Kami sudah benar-benar kesal. Kampung kami sudah tidak aman lagi. Setiap hari ada saja kemalingan. Kami ingin narkoba diberantas dan bandarnya ditangkap,” kata Sakban dengan tegas.
Reaksi Pemerintah Desa: Dukungan Penuh, Tapi Terbatas
Kepala Desa Bangko Bakti, Rudi Hartno, membenarkan bahwa spanduk tersebut memang dipasang oleh warga secara mandiri sebagai bentuk protes sosial. Ia menjelaskan bahwa pihak desa telah meneruskan informasi itu kepada aparat kepolisian dan pimpinan wilayah.
“Benar. Itu bentuk kekecewaan warga. Kita sudah sampaikan informasinya ke pimpinan dan kepolisian. Warga minta agar para bandar ditangkap dan narkoba diberantas,” ujar Rudi Hartno.
Namun, hingga artikel ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari pihak kepolisian terkait tindak lanjut yang konkret di wilayah tersebut.
Hal ini menjadi sorotan tambahan mengenai efektivitas sistem penegakan hukum di daerah terpencil yang kerap menjadi titik rawan distribusi narkotika.
Fenomena Kampung Narkoba: Simbol atau Realita?
Istilah “kampung narkoba” bukanlah hal yang baru di Indonesia. Beberapa wilayah seperti Kampung Boncos di Jakarta Barat atau beberapa titik di Medan dan Surabaya sempat mendapat label serupa.
Namun, yang membedakan adalah bahwa di Bangko Bakti, label tersebut datang dari warga sendiri, bukan hasil investigasi media atau operasi penindakan.
Label ini mencerminkan dua hal penting: pertama, adanya keputusasaan warga terhadap kondisi sosial yang memburuk, dan kedua, kritik keras terhadap ketidakmampuan aparat menanggulangi persoalan mendasar yang merusak masa depan generasi muda.
Dimensi Sosial: Generasi Muda sebagai Korban Utama
Peredaran narkoba yang tidak terkendali menjadikan generasi muda sebagai korban utama. Selain berisiko mengalami kerusakan mental dan fisik, banyak anak muda juga kehilangan potensi masa depannya karena terjerumus dalam lingkaran ketergantungan.
Hal ini diperparah dengan kurangnya edukasi dan fasilitas rehabilitasi yang terjangkau di daerah terpencil.
“Kami khawatir anak-anak kami akan rusak. Kami butuh polisi, butuh perhatian pemerintah, bukan hanya janji-janji,” ujar seorang ibu rumah tangga yang tidak mau disebutkan namanya.
Tantangan Penegakan Hukum di Wilayah Pinggiran
Peredaran narkoba di daerah-daerah pelosok seperti Bangko Bakti sering kali luput dari pengawasan intensif karena terbatasnya sumber daya, infrastruktur, dan fokus kebijakan.
Aparat kepolisian di tingkat lokal juga sering kali menghadapi dilema antara kurangnya bukti yang kuat dan tekanan dari masyarakat.
Pemerintah pusat memang sudah membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) dan memiliki visi Indonesia Bebas Narkoba. Namun, dalam praktiknya, implementasi program pencegahan maupun penindakan masih belum merata di seluruh daerah, khususnya di tingkat kecamatan atau desa terpencil.
Baca Juga: Siap-siap Dapat Uang gratis! Inilah 3 Aplikasi Game Penghasil Saldo DANA Terpopuler 2025
Solusi: Dari Partisipasi Warga hingga Kolaborasi Lintas Sektor
Spanduk viral yang muncul di Dusun Balam Timur seharusnya menjadi peringatan keras bahwa masyarakat telah melampaui titik sabar.
Ini juga bisa menjadi pintu masuk untuk pendekatan kolaboratif antara pemerintah daerah, tokoh agama, pemuda, LSM, dan pihak keamanan.
Solusi yang bisa dipertimbangkan antara lain:
- Mendirikan posko pengaduan narkoba berbasis masyarakat
- Melibatkan tokoh adat dan pemuka agama dalam edukasi anti-narkoba
- Menyediakan fasilitas rehabilitasi dan konseling bagi pengguna
- Operasi terpadu antara polisi, TNI, dan BNN untuk memberantas jaringan bandar
- Edukasi sekolah berbasis keluarga untuk membentengi anak-anak sejak dini
Kisah dari Dusun Balam Timur merupakan potret nyata bahwa warga bisa menjadi motor perubahan, bahkan dengan cara sederhana namun sarat makna.
Spanduk bertuliskan “Selamat Datang di Kampung Narkoba” bukan hanya menyampaikan protes, melainkan juga menjadi panggilan bagi seluruh elemen bangsa untuk tidak tinggal diam.
Indonesia masih punya harapan untuk membebaskan generasi mudanya dari jerat narkoba. Namun, harapan itu tidak boleh hanya digantungkan pada retorika, melainkan diwujudkan dalam aksi nyata, mulai dari kampung-kampung kecil seperti Bangko Bakti.