POSKOTA.CO.ID - Industri financial technology (fintech), khususnya penyelenggara layanan pinjaman berbasis teknologi atau peer-to-peer (P2P) lending, mengalami dinamika signifikan dalam struktur penyaluran pembiayaannya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Februari 2025, penyaluran pinjaman ke sektor produktif oleh perusahaan P2P lending menunjukkan peningkatan, meskipun dalam skala yang masih relatif terbatas.
Dalam keterangannya, Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) di OJK, menyatakan bahwa peningkatan ini mencerminkan komitmen berkelanjutan untuk memperkuat kontribusi fintech dalam sektor riil.
Sebagai upaya strategis, OJK telah menyusun Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) 2023–2028.
Dokumen ini menargetkan porsi pembiayaan produktif fintech mencapai 40% hingga 50% dalam kurun waktu 2025 hingga 2026.
Realisasi Pendanaan Produktif Februari 2025
Per Februari 2025, total outstanding pendanaan pinjaman daring secara keseluruhan mencapai Rp80,07 triliun. Dari jumlah tersebut, penyaluran kepada sektor produktif dan/atau pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mencapai Rp29,25 triliun, atau sekitar 36,53% dari total pendanaan industri P2P lending. Sebagai perbandingan, pada Januari 2025, porsi kredit produktif hanya sebesar 35,64%.
Peningkatan sebesar 0,89% tersebut dinilai menggambarkan efektivitas intervensi regulasi serta dorongan OJK kepada para penyelenggara untuk semakin memprioritaskan sektor produktif dalam portofolio mereka.
Khusus untuk segmen UMKM, outstanding pendanaan pada Februari 2025 mencapai Rp1,27 triliun. Jumlah ini dinilai cukup signifikan mengingat UMKM merupakan segmen yang paling terdampak oleh keterbatasan akses perbankan konvensional.
Peran Strategis Roadmap LPBBTI 2023–2028
Roadmap LPBBTI 2023–2028 merupakan kebijakan strategis yang menjadi panduan bagi seluruh ekosistem layanan pendanaan bersama, termasuk penyelenggara fintech, asosiasi, serta regulator.
Fokus utamanya adalah mendorong inklusi keuangan, mengatasi ketimpangan pembiayaan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis sektor produktif.
Terdapat tiga pilar utama dalam roadmap tersebut:
- Peningkatan kualitas penyelenggara melalui tata kelola dan mitigasi risiko,
- Dorongan pembiayaan ke sektor produktif seperti UMKM, pertanian, dan sektor riil lainnya,
- Perkuatan infrastruktur digital dan integrasi dengan sistem keuangan nasional.
Penyesuaian Batas Maksimum Bunga: Insentif untuk Pertumbuhan Kredit Produktif
Salah satu langkah penting yang dilakukan OJK adalah penyesuaian batas maksimum manfaat ekonomi atau bunga pinjaman yang diberlakukan sejak 1 Januari 2025.
Ketentuan ini ditujukan untuk memberikan kejelasan dan insentif bagi para penyelenggara dalam menyalurkan dana ke sektor mikro dan ultra mikro secara berkelanjutan.
Adapun ketentuan batas manfaat ekonomi (bunga) sebagai berikut:
- Untuk pinjaman produktif segmen mikro dan ultra mikro dengan tenor < 6 bulan: maksimum 0,275% per hari.
- Untuk tenor > 6 bulan: maksimum 0,1% per hari.
- Untuk segmen kecil dan menengah (tenor < dan > 6 bulan): maksimum 0,1% per hari.
Penyesuaian tersebut memberikan insentif kepada penyelenggara yang ingin fokus pada pembiayaan jangka menengah dan panjang, tanpa harus menanggung risiko margin yang tidak sebanding.
Tantangan yang Masih Mengemuka
Meski pertumbuhan tercatat positif, industri P2P lending masih dihadapkan pada sejumlah tantangan fundamental, di antaranya:
- Ketergantungan pada pembiayaan konsumtif, yang masih mendominasi komposisi portofolio pendanaan.
- Tingkat gagal bayar (non-performing loan/NPL) pada beberapa penyelenggara yang masih tinggi.
- Ketidakseimbangan dalam distribusi kredit ke sektor produktif di luar Jawa.
- Literasi keuangan digital yang belum merata, terutama di kalangan pelaku UMKM daerah.
Bahkan OJK mencatat bahwa 1 dari 5 perusahaan P2P lending menghadapi masalah kredit bermasalah (NPL), yang menunjukkan perlunya tata kelola risiko yang lebih kuat di kalangan penyelenggara.
Mendorong Kolaborasi Ekosistem Fintech–UMKM
Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, OJK bersama asosiasi fintech mendorong kolaborasi yang lebih erat antara penyelenggara fintech dan pelaku UMKM.
Kolaborasi ini dapat berbentuk integrasi platform penjualan digital (e-commerce), pemanfaatan data transaksi sebagai alternatif credit scoring, dan kemitraan dengan koperasi atau lembaga keuangan mikro lokal.
Langkah ini diharapkan dapat memperluas jangkauan layanan pembiayaan produktif ke sektor-sektor yang selama ini terpinggirkan oleh lembaga keuangan konvensional.
Implikasi Ekonomi dan Arah Kebijakan ke Depan
Dengan terus meningkatnya kontribusi sektor produktif dalam portofolio pendanaan fintech, diperkirakan akan terjadi akselerasi pertumbuhan ekonomi lokal, khususnya melalui pemberdayaan UMKM.
Model pembiayaan digital ini dinilai lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan karakteristik usaha kecil, termasuk yang belum memiliki jaminan konvensional.
Ke depan, OJK akan terus melakukan pengawasan berbasis teknologi (suptech) untuk memastikan tata kelola, transparansi bunga, serta perlindungan konsumen berjalan seimbang.
OJK juga membuka ruang untuk inovasi keuangan digital berbasis kecerdasan buatan dan integrasi blockchain guna meningkatkan efisiensi industri.
Penyaluran pembiayaan produktif oleh industri fintech P2P lending menunjukkan progres yang positif, meski masih berada dalam tahap awal.
Dengan adanya roadmap LPBBTI 2023–2028 dan dukungan kebijakan bunga yang lebih akomodatif, arah kebijakan fintech di Indonesia kini semakin difokuskan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif berbasis UMKM.
Namun demikian, keberhasilan jangka panjang akan sangat ditentukan oleh kemampuan penyelenggara untuk menjaga kualitas kredit, memperluas literasi keuangan digital, serta membangun kemitraan strategis yang mendukung pembiayaan sektor produktif secara berkelanjutan.