Meski tengah dilanda polemik, Taman Safari tetap diakui sebagai salah satu lembaga konservasi terbesar di Indonesia. Mereka telah berperan aktif dalam program breeding, rehabilitasi satwa, dan kampanye perlindungan hewan langka seperti harimau sumatera dan orangutan.
Namun, kasus ini menimbulkan pertanyaan etis mengenai apakah lembaga konservasi dapat dipisahkan dari sejarah panjang hiburan berbasis eksploitasi—terutama jika lembaga tersebut berakar pada pertunjukan sirkus.
Refleksi Akhir: Transparansi dan Reformasi
Kasus yang menimpa OCI dan Taman Safari menjadi cermin penting bagi dunia hiburan dan konservasi di Indonesia. Sejarah panjang organisasi bukan jaminan kebal dari evaluasi publik, terutama bila menyangkut isu hak asasi manusia.
Jansen Manansang, sebagai tokoh senior yang telah lama berada di jantung operasional organisasi, dituntut untuk memberi contoh transparansi dan akuntabilitas. Meski telah memberikan klarifikasi, sorotan terhadap keluarga Manansang tak serta merta mereda.
Bagi banyak pihak, perbaikan sistem yang disebutkan Jansen harus didukung dengan verifikasi independen, dokumentasi yang transparan, dan dialog terbuka dengan para korban.
Kasus ini mengajarkan bahwa warisan institusi, betapapun mulianya, tidak boleh lepas dari kritik dan pembaruan. Dinasti keluarga Manansang yang membangun sirkus dan taman konservasi perlu bertransformasi seiring tuntutan zaman menuju institusi yang lebih manusiawi, adil, dan terbuka.
Dengan sorotan publik yang terus menguat, langkah selanjutnya akan menentukan apakah Taman Safari dan Oriental Circus Indonesia mampu bertahan sebagai simbol konservasi atau justru dikenang sebagai bagian dari sejarah kelam pelanggaran HAM di sektor hiburan.