POSKOTA.CO.ID - Nama Raden Ajeng Kartini atau RA Kartini telah lekat sebagai ikon emansipasi perempuan Indonesia.
Lahir di Jepara pada 21 April 1879, Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan yang memperjuangkan kesetaraan hak dalam dunia pendidikan dan sosial.
Namun, di balik perjuangan besar itu, ada sosok ibunda yang jarang disebut, Mas Ajeng Ngasirah yang turut membentuk pandangan hidup Kartini tentang keadilan dan kemanusiaan.
Baca Juga: Link Twibbon Hari Kartini 21 April 2025 dengan Desain Kekinian untuk IG dan WA, Download di Sini
Dikutip dari YouTube Info Poluper75, berikut ini adalah sosok dan peran Ngasirah, ibunda dari RA Kartini.
Ngasirah, Perempuan Sederhana yang Menjadi Selir
Ngasirah bukan berasal dari kalangan bangsawan. Ia adalah putri seorang mandor perkebunan gula di Mayong, Jepara, bernama Haji Rono, dan ibunya bernama Siti Aminah.
Sebelum menikah dengan ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Ngasirah adalah seorang pembatik.
Pernikahan mereka terjadi pada 1872. Saat itu, Sosroningrat masih menjabat sebagai wedana di Mayong, dan menjadi salah satu dari sedikit pejabat yang fasih berbahasa Belanda.
Kariernya terus menanjak hingga ia diangkat sebagai Bupati Jepara. Namun, status Ngasirah sebagai rakyat biasa membuatnya tidak memenuhi syarat sebagai istri sah Bupati dalam sistem kolonial Belanda, yang mensyaratkan darah bangsawan. Ia pun harus turun derajat menjadi selir.
Jadi Ibu Tapi Dipanggil Hiu
Dari pernikahan tersebut, Ngasirah melahirkan delapan orang anak, termasuk Kartini. Karena statusnya sebagai selir, ia tidak diperbolehkan tinggal di rumah utama pendopo kabupaten.
Anak-anaknya pun diwajibkan memanggilnya dengan sebutan "hiu", sebutan yang diperuntukkan bagi perempuan abdi dalem.
Sebaliknya, Ngasirah harus menyebut anak-anaknya dengan panggilan "Doro", sebutan bagi majikan.
Meski begitu, Kartini lebih memilih tinggal bersama ibunya di bagian belakang pendopo, dan menolak memanggilnya dengan panggilan feodal.
Kartini bahkan sempat menolak lamaran pernikahan jika ibunya tidak diperbolehkan masuk ke dalam pendopo.
Hal ini menunjukkan kecintaannya yang dalam kepada sang ibu dan semangat melawan diskriminasi, bahkan sejak dalam keluarga sendiri.
Menentang Ketidakadilan dan Poligami
Kondisi ibunya yang menjadi korban sistem poligami dan stratifikasi sosial kolonial membentuk pemikiran Kartini tentang ketidakadilan terhadap perempuan.
Dalam suratnya kepada sahabat pena Stella Zeehandelaar, Kartini dengan tegas menolak poligami.
"Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah, kemudian jika bosan, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara sah?" tulis Kartini dalam salah satu suratnya.
Pernikahan dengan Bupati Rembang
Pada November 1903, Kartini menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang. Ketika itu, ia berusia 24 tahun, sedangkan suaminya sudah memiliki tujuh anak dan dua selir.
Bahkan, anak tertua Joyodiningrat hanya berjarak delapan tahun dari Kartini.
Kartini tidak menerima lamaran itu begitu saja. Ia mengajukan beberapa syarat, salah satunya adalah agar ibunya, Ngasirah, diizinkan tinggal di pendopo.
Syarat lain, Kartini ingin membuka sekolah untuk anak perempuan, serta menolak upacara pernikahan yang merendahkan perempuan seperti berjalan jongkok, berlutut, atau menyembah kaki mempelai pria.
Ia juga memilih berbicara dalam bahasa Jawa ngoko kepada suaminya, bukan bahasa kromo inggil, sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem feodal yang memosisikan perempuan di bawah laki-laki.
Akhir Hayat Kartini
Kartini hanya hidup selama satu tahun setelah menikah. Ia wafat pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan putra pertamanya yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah.
Kisah Mas Ajeng Ngasirah adalah cerminan dari keteguhan dan cinta seorang ibu yang tak terucap, tetapi hidup dalam perjuangan anaknya.
Sosoknya menjadi inspirasi dalam pembentukan karakter Kartini, seorang perempuan yang berani bersuara demi keadilan, bahkan kepada sistem yang membesarkannya.