Dalam surat-suratnya, Kartini membahas bagaimana perempuan Jawa dikekang oleh adat, tidak diberi kesempatan bersekolah, dan hanya dipersiapkan untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga tanpa suara dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu Kartini pun mengungkapkan keinginannya untuk mendirikan sekolah bagi perempuan pribumi agar mereka bisa mandiri dan berdaya.
Dari Surat Menjadi Buku: Habis Gelap Terbitlah Terang
Setelah Kartini wafat pada 17 September 1904, hanya beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya, suami dari Rosa Abendanon yaitu J.H. Abendanon, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan, Agama, dan Kerajinan di Hindia Belanda, mengumpulkan surat-surat Kartini dan menerbitkannya dalam bentuk buku berjudul:
"Door Duisternis tot Licht" – yang dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Buku tersebut pertama kali terbit pada tahun 1911 di Belanda dan kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Kumpulan surat ini menjadi jendela dunia yang menunjukkan bagaimana seorang perempuan dari Jawa bisa menyuarakan perubahan melalui pena dan kertas.
Surat-surat Kartini bukan hanya karya sastra, tetapi juga dokumen sejarah yang mencerminkan kondisi sosial dan budaya pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Di dalamnya, tersimpan semangat perubahan, keberanian menantang adat, dan keyakinan bahwa pendidikan adalah kunci utama kemajuan bangsa.
Warisan yang Abadi
Hari ini, nama RA Kartini tidak hanya dikenang sebagai pahlawan nasional, tetapi juga sebagai simbol pembebasan perempuan dari belenggu diskriminasi.
Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai penghormatan terhadap perjuangannya yang menginspirasi berbagai generasi.
Sekolah-sekolah, taman bacaan, dan berbagai lembaga pendidikan pun menjadikan semangat Kartini sebagai pijakan untuk terus mengembangkan potensi perempuan di Indonesia.