Praktik pelatihan keras, minimnya akses pendidikan formal, serta batasan terhadap kebebasan anak menjadi kritik utama terhadap model sirkus semacam ini.
Aspek Hukum: Eksploitasi Anak dan UU Perlindungan Anak
Dalam konteks hukum Indonesia, eksploitasi anak diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 66 menyebut bahwa anak tidak boleh dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai sanksi pidana yang berat.
Jika terbukti bahwa mantan pemain sirkus tersebut merupakan anak-anak saat mengalami perlakuan tidak manusiawi, maka institusi atau individu yang terlibat dapat dijerat dengan pasal eksploitasi anak.
Oleh karena itu, pengakuan korban seharusnya menjadi bahan pertimbangan untuk penyelidikan oleh pihak berwajib.
Baca Juga: Contoh Kalimat Ucapan Hari Kartini 2025 untuk Ibu Tersayang
Implikasi Sosial dan Budaya
Kasus ini membuka kembali diskursus mengenai eksploitasi dalam industri hiburan, terutama yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku utama.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun telah menjadi perhatian global, di mana anak-anak di berbagai negara digunakan sebagai penghibur dengan mengorbankan hak dasar mereka.
Masyarakat semakin menyadari pentingnya regulasi yang ketat terhadap aktivitas sirkus dan pertunjukan yang melibatkan anak.
Isu keseimbangan antara pelestarian budaya sirkus dan perlindungan hak anak menjadi tantangan yang harus dijawab melalui kebijakan yang tegas.
Pengakuan dari mantan pemain sirkus OCI, Vivi dan Butet, telah membuka luka lama dan mengundang perhatian terhadap aspek gelap dunia hiburan sirkus di Indonesia.