POSKOTA.CO.ID - Dalam beberapa pekan terakhir, jagat maya diramaikan oleh fenomena "Muthawif Boys", julukan yang disematkan secara sarkastik kepada sejumlah pria yang bekerja sebagai pemandu haji dan umrah (muthawif), namun menunjukkan perilaku yang dinilai tidak pantas terhadap jamaah perempuan, terutama para konten kreator muda berhijab yang populer di media sosial.
Fenomena ini memicu perdebatan luas, mulai dari pencemaran profesi religius, batasan interaksi dalam konteks ibadah, hingga potret masyarakat yang mengglorifikasi citra Islami namun tidak selaras dalam praktik.
Baca Juga: Stefano Cugurra Pamit Mundur, Siapa Pelatih Anyar Bali United?
Apa Itu Muthawif dan Apa Tugasnya?
Secara definisi, muthawif atau muthowif adalah seorang pemandu ibadah haji atau umrah yang bertanggung jawab membimbing jamaah agar melaksanakan seluruh rangkaian ibadah sesuai dengan syariat Islam.
Tugas mereka tidak hanya terbatas pada penjelasan teknis pelaksanaan rukun dan wajib haji/umrah, namun juga meliputi pendampingan penuh selama di Tanah Suci mulai dari keberangkatan di bandara, proses ziarah ke tempat-tempat bersejarah, hingga kembali ke negara asal.
Muthawif juga kerap disebut sebagai “tour guide ibadah” yang sekaligus menjadi perantara komunikasi jamaah dengan otoritas lokal, penyedia logistik, atau pihak penginapan. Dengan kata lain, peran ini menuntut kompetensi spiritual, logistik, komunikasi interpersonal, dan tentu saja: adab.
Muthawif adalah profesi tua dalam sejarah penyelenggaraan haji dan umrah, terutama di kalangan warga Arab Saudi yang berpengalaman dalam melayani tamu Allah.
Sayangnya, profesi ini belakangan mendapat stigma baru akibat perilaku tidak etis dari beberapa oknum muda yang dijuluki warganet sebagai “Muthawif Boys”.
Fenomena Muthawif Boys: Citra Religius yang Dipalsukan?
Istilah “Muthawif Boys” menjadi viral usai beberapa konten kreator perempuan membagikan pengalaman pribadi mereka yang mendapat pesan-pesan pribadi (direct message/DM) dari pria-pria muda berpakaian islami dan berprofesi sebagai muthawif.
Pesan-pesan tersebut bernada genit, tidak pantas, bahkan cenderung menggoda secara seksual ironisnya dilakukan di tengah suasana ibadah suci umrah.
Beberapa kutipan DM yang viral antara lain:
- "Kaya gini maharnya berapa ya?"
- "Paket komplit serba bisa"
- "Vibes istri aku banget"
Pesan tersebut dikirimkan oleh akun yang mencantumkan identitas sebagai muthawif, lengkap dengan pose foto di depan Ka'bah, mengenakan jubah, atau sedang menggendong koper jamaah.
Konten kreator yang berbicara secara terbuka pun tak luput dari hujatan netizen, seolah-olah mereka yang menjadi penyebab karena tampil cantik dan "ukhti yali yalili", istilah populer di TikTok yang menggambarkan perempuan dengan penampilan syar’i yang estetis dan cenderung performatif.
Namun setelah bukti percakapan pribadi bermunculan, publik berbalik menyoroti para muthawif yang justru memanfaatkan posisi spiritual untuk mendekati perempuan dengan cara tidak pantas.
Muthawif vs Walid: Ketika Perbandingan Jadi Sindiran
Sebagian netizen menyebut Muthawif Boys ini “lebih parah dari Walid”, merujuk pada karakter atau persona yang selama ini dipandang negatif sebagai pria manipulatif religius. Sebutan “melebihi Walid” menjadi ironi tersendiri menunjukkan bahwa sosok yang seharusnya menjadi penjaga ibadah, justru menjadi pelaku gangguan emosional.
Fenomena ini turut memunculkan diskursus baru: bagaimana seharusnya masyarakat melihat profesi religius? Apakah cukup dengan jubah, status "orang dalam Mekkah", dan bahasa Arab untuk mengklaim otoritas moral?
Etika Profesi dan Tanggung Jawab Sosial
Dalam perspektif syariah, seorang muthawif bukan hanya bertugas membimbing ibadah secara teknis, melainkan juga wajib menjadi contoh akhlak dan pembawa kenyamanan.
Ketika terjadi pelanggaran adab seperti genit kepada jamaah, apalagi saat ibadah, maka hal ini tergolong sebagai pelanggaran etik berat.
Sebagaimana dikutip dari laman resmi Dar Al-Hijrah, lembaga pendidikan Islam Timur Tengah, peran muthawif menuntut amanah tinggi karena bersentuhan langsung dengan tamu Allah (dhuyufurrahman).
Bahkan, dalam hadis Nabi SAW disebutkan bahwa siapa pun yang menyulitkan atau mengganggu orang yang sedang beribadah di tanah suci, maka ia mendapat ancaman serius.
Fakta bahwa beberapa dari Muthawif Boys ini malah menjadikan profesi sebagai branding media sosial, lengkap dengan strategi pencitraan islami, menambah kompleksitas masalah.
Tidak sedikit dari mereka menyisipkan potongan ayat, zikir, hingga ceramah singkat di akun Instagram atau TikTok mereka padahal dalam praktik, perilakunya tidak mencerminkan ajaran tersebut.
Baca Juga: Waspada Pinjaman Online Ilegal, Begini Cara Cek Legalitasnya
Respons Netizen dan Munculnya Tagar #MuthawifBoys
Seiring meningkatnya kesadaran digital, publik mulai mengedukasi diri mengenai batasan interaksi dalam konteks ibadah. Muncul pula tagar #MuthawifBoys sebagai bentuk kritik dan satir terhadap fenomena ini.
Beberapa akun publik figur muslimah bahkan ikut angkat bicara, meminta agar lembaga penyelenggara umrah lebih selektif dalam merekrut muthawif tidak hanya melihat dari fasihnya bahasa Arab atau pakaian islami, namun juga kepribadian dan integritas.
Tak sedikit pula jamaah dan alumni umrah yang menegaskan bahwa muthawif profesional sejatinya sangat membantu, bekerja tanpa pamrih, dan menjaga batas interaksi. Mereka berharap insiden ini tidak mencoreng citra ribuan muthawif lain yang bekerja dengan tulus.
Bagaimana Mencegahnya ke Depan?
Fenomena viral ini menjadi momentum evaluasi mendalam. Baik dari penyelenggara umrah, lembaga pelatihan muthawif, hingga komunitas daring muslim. Beberapa saran konkret yang dapat diterapkan antara lain:
- Sertifikasi Etika Profesi: Pelatihan bagi calon muthawif harus mencakup modul etika interaksi, komunikasi yang sesuai syariah, dan penguatan adab pelayanan terhadap jamaah.
- Verifikasi Identitas Digital: Para pemandu yang menggunakan media sosial sebaiknya didampingi atau diregulasi oleh lembaga, agar tidak menyalahgunakan profesi untuk pencitraan pribadi.
- Kanal Laporan Khusus: Adanya saluran pelaporan untuk jamaah perempuan yang mengalami pelecehan verbal dari muthawif akan mendorong terciptanya sistem pengawasan berbasis kesadaran jamaah.
- Edukasi untuk Jamaah: Edukasi kepada jamaah, terutama generasi muda dan influencer, agar memahami batasan interaksi selama ibadah dan tidak terkecoh dengan pencitraan semu.
Fenomena Muthawif Boys bukanlah gambaran dari keseluruhan profesi muthawif, melainkan cerminan dari segelintir oknum yang menyalahgunakan status untuk kepentingan pribadi.
Namun demikian, kasus ini membuka ruang refleksi besar bahwa profesi berbasis agama bukan hanya soal tampilan luar, namun akhlak yang harus selaras dengan nilai-nilai Islam.
Sudah seharusnya, baik pelaku ibadah maupun pemandunya, menjaga adab dalam segala situasi. Di era di mana citra mudah dimanipulasi, kita perlu kembali pada esensi keikhlasan, amanah, dan adab. Sebab Tanah Suci bukan panggung pencitraan melainkan tempat berserah kepada Ilahi.