POSKOTA.CO.ID - Seiring berkembangnya teknologi AI atau kecerdasan buatan, dikabarkan para pakar di bidang tersebut khawatir dengan dampaknya di masa depan.
Konon ada yang meyakini AI bis aberpikir layaknya manusia dan jika terus berkembang, maka akan bersaing dengan kemampuan berpikir manusia dan membahayakan kehidupan.
Pada tahun 2014, Elon Musk pernah menuliskan dalam sebuah cuitan bahwa kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dapat menjadi lebih berbahaya dibandingkan senjata nuklir.
Baca Juga: Cara Membuat Kartu Ucapan Idul Fitri Menarik Menggunakan ChatGPT, Gampang Banget!
Saat itu, banyak yang menganggap pernyataan tersebut berlebihan, bahkan mungkin hanya sekadar candaan. Namun, seiring berjalannya waktu, kekhawatiran Musk mulai menunjukkan kebenarannya.
Sementara itu Geoffrey Hinton, yang dijuluki sebagai "Bapak AI", memutuskan mundur dari Google karena merasa ada hal yang tidak beres dalam perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau AI.
Ia pun mulai bersuara di berbagai forum untuk memperingatkan dunia akan bahayanya AI.
Bagi yang belum sepenuhnya memahami, kecerdasan buatan adalah teknologi yang kini tertanam di hampir semua platform digital, dari media sosial hingga perangkat lunak komputer.
Baca Juga: Cara Menggunakan DeepSeek, Aplikasi AI yang Kalahkan ChatGPT
Contoh paling sederhana adalah filter di TikTok, yang kini mampu mempercantik wajah, mengganti ekspresi, hingga menukar wajah secara realistis.
Hal ini dimungkinkan berkat teknologi AI yang meniru kecerdasan manusia melalui algoritma seperti Artificial Neural Network, yaitu jaringan saraf tiruan yang bekerja menyerupai cara kerja otak manusia.
AI dan Perannya di Berbagai Bidang
Dalam dunia otomotif, AI kini dapat mengemudikan mobil secara otomatis, seperti yang telah diterapkan pada layanan taksi di Tiongkok.
AI juga mulai menggantikan peran musisi, desainer, dan editor dengan kemampuannya menciptakan musik, animasi, serta mengedit foto dan video secara efisien.
Perkembangan terkini yang menarik perhatian banyak pihak adalah kemunculan ChatGPT, sebuah chatbot berbasis AI yang dapat berkomunikasi menggunakan bahasa alami.
AI ini bahkan mampu memecahkan soal matematika dan menulis kode pemrograman layaknya seorang programmer profesional dalam waktu yang sangat singkat.
Tidak hanya itu, AI bahkan kini mampu menciptakan kembali gambar hanya berdasarkan hasil pemindaian otak suatu pencapaian yang mengarah pada potensi rekonstruksi visual tanpa harus melihat gambar aslinya.
Inilah yang membuat para ahli seperti Tristan Harris dan Aza Raskin (pembuat dokumenter The Social Dilemma) merasa perlu merilis dokumenter baru berjudul The AI Dilemma, yang berisi peringatan-peringatan keras.
Ancaman Nyata dan Titik Singularitas
Salah satu data yang mencengangkan adalah bahwa sekitar 50 persen peneliti AI percaya terdapat kemungkinan sebesar 10 persen atau lebih bahwa umat manusia bisa punah karena ketidakmampuan mengontrol AI.
Hal ini disebabkan oleh kemampuan AI yang terus berkembang pesa bahkan dikatakan meningkat dua kali lipat setiap beberapa bulan.
Diperkirakan pada tahun 2045, AI akan mencapai titik singularitas, yakni momen di mana kecerdasannya akan setara atau bahkan melampaui seluruh kecerdasan otak manusia yang digabungkan.
Inilah yang menimbulkan kekhawatiran bahwa AI suatu saat bisa memiliki kesadaran, dan mungkin seperti yang digambarkan dalam film fiksi ilmiah akan berbalik menyerang manusia.
Manipulasi AI dan Bahayanya
Ancaman terbesar dari AI bukan sekadar apakah ia memiliki kesadaran, melainkan pada kemampuannya memanipulasi data dan informasi.
AI modern bekerja dengan model input-output tanpa harus memahami proses yang terjadi di dalamnya, sehingga kita tidak selalu tahu bagaimana keputusan diambil.
Jika digunakan secara tidak etis, AI dapat menyebabkan diskriminasi. Misalnya, dalam penggunaan pengenalan wajah oleh polisi, orang yang tidak bersalah bisa saja ditangkap hanya karena wajahnya mirip dengan pelaku kejahatan.
Ketimpangan data input menyebabkan bias yang bahkan lebih parah daripada diskriminasi manusia.
Lebih jauh, AI juga dapat digunakan untuk manipulasi politik. Dengan membaca perilaku pengguna di internet, AI bisa menyajikan konten-konten yang membentuk opini dan memengaruhi pilihan politik secara sistematis.