Setelah korban tak sadarkan diri, aksi bejat dari dokter PPDS itu dilakukan. Reza memandang apa yang dilakukan Priguna masuk dalam kategori kekerasan seksual, karena telah merancang agar korban incarannya tak sadarkan diri dan bisa melakukan perbuatan bejatnya.
“Kondisi pasif (tidak sadar) dari target bukan sesuatu yang membuat tersangka terangsang, tetapi kondisi tidak sadar itu diciptakan oleh tersangka dengan cara kekerasan (paksaan) agar dia dapat memenuhi nafusnya tanpa perlawanan sama sekali,” ungkapnya.
“Perkosaan yang brutal dilancarkan bahkan dengan membuat target pingsan terlebih dahulu,” sambungnya.
Kemudian satu hal yang Reza soroti ialah mengapa masalah orientasi seksual tersangkan masih diperdebatkan.
“Polisi malah fokus berdebat tentang ketertarikan seksual tersangka. Selaku otoritas penegakan hukum, seharusnya berkonsentrasi kepada tidak adanya persetujuan dari orang yang disetubuhi, penggunaan kekerasan sebagai modus, di situ letak kerja hukumnya,” ujar Reza.
Ia pun menyinggung soal Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang digunakan untuk menjerat tersangka.
Menurutnya, Priguna selaku tersangka harus dihukum seberat-beratnya. Alih-alih memperberat hukuman, pihak kepolisian malah membuka celah tersangka untuk memperoleh keringanan atas tindak pidana yang dilakukan.
Celah keringanan itu muncul dari narasi kelainan seksual yang diucapkan oleh kepolisian.
“UU TPKS menempatkan kekerasan seksual sebagai kejahatan serius. Dengan demikian pelaku harus dihukum seberat-beratnya, polisi sepatutnya memakai cara berpikir rertibutive,” kata Reza.
“Polda Jabar justru membuka celah bagi tersangka, nanti terdakwa memperoleh peringanan pidana lewat narasi kelainan seksual. Kelainan ini berasosiasi dengan gangguang, penyimpangan, ketidaknormalan, ketidaksehatan. Sehingga alih-alih rertibutif, polisi justru memakai cara pandang rehabilitatif bahwa kejahatan pelaku akibat kelainan,” sambungnya.