POSKOTA.CO.ID - Ahli Psikologi Forensi, Reza Indragiri menyoroti kasus pemerkosaan oleh dokter PPDS di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat.
Ia pun mengkritik jika pihak kepolisian membuka celah adanya keringanan hukuman bagi tersangka dengan menggaungkan narasi kelainan seksual.
Dalam keterangannya, Reza menyebut apa yang dilakukan oleh tersangka yakni Priguna Anugerah Pratama merupakan sebuah fetish atau kelainan seksual somnofilia.
Maksud dari Somnofilia adalah keterangsangan seksual pada manusia yang berada dalam kondisi pasif atau tidak sadar.
Baca Juga: Tersangka Dokter Pemerkosa di RSHS Sepakat Damai, Surawan: Restorative Justice Tidak Berlaku
“Dia mengelabui targetnya (korban) ketika target dalam keadaan sadar. Kemudian dia menggunakan cara kekerasan berupa bius. Usai target dalam kondisi pasif, barulah ia melancarkan aksinya,” kata Reza dikutip dalam keterangannya.
Reza memandang jika tersangka sudah mengincar targetnya ketika dalam keadaan sadar. Dengan kata lain, ia memiliki keterangsangan seksual mirip orang kebanyakan.
“Perilaku sedemikian rupa menunjukkan bahwa tersangka sudah mengincar target, artinya sudah mengalami keterangsangan seksual ketika target dalam keadaan sadar,” ungkapnya.
Baca Juga: Dukungan untuk Korban, Komnas Perempuan akan Kawal Kasus Pemerkosaan oleh Dokter PPDS Unpad
Kritisi Proses Penyelidikan
Dalam kasus ini, korbah FH (21) merupakan keluarga dari pasien yang sedang di rawat di RSHS. Kemudian Priguna mengajak korban dengan modus transfusi darah demi memenuhi kebutuhan darah sang ayah yang sedang dirawat.
Priguna membawa FH ke gedung MCHC lantai 7 yang merupakan gedung rumah sakit belum terpakai. Kemudian tersangka memasangkan selang infus dengan 15 kali percobaan dan memasukkan cairan bening yang diduga obat bius ke cairan infus.
Setelah korban tak sadarkan diri, aksi bejat dari dokter PPDS itu dilakukan. Reza memandang apa yang dilakukan Priguna masuk dalam kategori kekerasan seksual, karena telah merancang agar korban incarannya tak sadarkan diri dan bisa melakukan perbuatan bejatnya.
“Kondisi pasif (tidak sadar) dari target bukan sesuatu yang membuat tersangka terangsang, tetapi kondisi tidak sadar itu diciptakan oleh tersangka dengan cara kekerasan (paksaan) agar dia dapat memenuhi nafusnya tanpa perlawanan sama sekali,” ungkapnya.
“Perkosaan yang brutal dilancarkan bahkan dengan membuat target pingsan terlebih dahulu,” sambungnya.
Kemudian satu hal yang Reza soroti ialah mengapa masalah orientasi seksual tersangkan masih diperdebatkan.
“Polisi malah fokus berdebat tentang ketertarikan seksual tersangka. Selaku otoritas penegakan hukum, seharusnya berkonsentrasi kepada tidak adanya persetujuan dari orang yang disetubuhi, penggunaan kekerasan sebagai modus, di situ letak kerja hukumnya,” ujar Reza.
Ia pun menyinggung soal Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang digunakan untuk menjerat tersangka.
Menurutnya, Priguna selaku tersangka harus dihukum seberat-beratnya. Alih-alih memperberat hukuman, pihak kepolisian malah membuka celah tersangka untuk memperoleh keringanan atas tindak pidana yang dilakukan.
Celah keringanan itu muncul dari narasi kelainan seksual yang diucapkan oleh kepolisian.
“UU TPKS menempatkan kekerasan seksual sebagai kejahatan serius. Dengan demikian pelaku harus dihukum seberat-beratnya, polisi sepatutnya memakai cara berpikir rertibutive,” kata Reza.
“Polda Jabar justru membuka celah bagi tersangka, nanti terdakwa memperoleh peringanan pidana lewat narasi kelainan seksual. Kelainan ini berasosiasi dengan gangguang, penyimpangan, ketidaknormalan, ketidaksehatan. Sehingga alih-alih rertibutif, polisi justru memakai cara pandang rehabilitatif bahwa kejahatan pelaku akibat kelainan,” sambungnya.
Baca Juga: Kasus Rudapaksa Dokter Priguna Viral, Berikut Fakta Kronologinya
Reza pun menjelaskan andai tersangka memiliki kelainan, bukan polisi melainkan penasehat hukum yang memiliki kepentingan membangun narasi tersebut.
“Diangkatnya narasi tentang kelainan seksual ini terkesan cara Polda Jabar menambah bobot dramatis atas kasus ini. Cara itu bisa salah kaprah dan kontraproduktif dengan ekspektasi publik di mana pelaku mesti dihukum seberat-beratnya jika divonis bersalah,” pungkasnya.