6 Potensi Bahaya Serius Penggunaan ChatGPT

Minggu 13 Apr 2025, 14:26 WIB
Ilustrasi. Beberapa potensi bahaya serius dari penggunaan ChatGPT yang kurang bijak. (Sumber: Freepik/DilokaStudio)

Ilustrasi. Beberapa potensi bahaya serius dari penggunaan ChatGPT yang kurang bijak. (Sumber: Freepik/DilokaStudio)

POSKOTA.CO.ID - Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam beberapa tahun terakhir telah melesat jauh, dengan salah satu pencapaiannya yang paling mencolok adalah peluncuran ChatGPT oleh perusahaan OpenAI, yang didirikan oleh Sam Altman bersama beberapa tokoh besar lainnya, termasuk Elon Musk.

Dengan jumlah pengguna aktif mingguan mencapai lebih dari 200 juta, ChatGPT telah menjadi aplikasi konsumen dengan pertumbuhan tercepat dalam sejarah.

Namun, di balik popularitasnya yang luar biasa, tersimpan berbagai potensi bahaya yang belum banyak disadari oleh masyarakat umum.

Baca Juga: Cukup Pakai Hp, Ini Cara Download Google Authenticator untuk Aktivasi ASN Digital

Sejarah dan Perkembangan ChatGPT

ChatGPT diluncurkan pada 30 November 2022 dan berhasil meraih satu juta pengguna hanya dalam lima hari.

Pengguna terbanyak aplikasi ini berasal dari India (45 persen), disusul oleh beberapa negara lain, termasuk Indonesia yang berada di peringkat keenam dengan persentase penggunaan sebesar 32 persen.

Meskipun biayanya bisa mencapai sekitar Rp300.000 per bulan, minat masyarakat Indonesia terhadap aplikasi ini tetap tinggi.

Baca Juga: Cara Aktivasi MFA ASN Digital dari Hp, Coba Link Ini

OpenAI didirikan untuk memastikan bahwa perkembangan AI dapat tetap dalam kendali manusia dan tidak berkembang menjadi ancaman yang dapat menyebabkan kerusakan besar.

Namun, seiring waktu, muncul berbagai kasus yang menunjukkan bahwa pengawasan terhadap teknologi ini belum sepenuhnya optimal.

Dikutip dari YouTube Calon Sarjana, berikut ini adalah 6 bahaya penggunaan ChatGPT.

6 Bahaya Penggunaan ChatGPT

1. Masalah Akurasi dan Kesalahan Fatal

Salah satu kekhawatiran terbesar terhadap ChatGPT adalah keakuratannya.

Berdasarkan pengujian oleh sejumlah peneliti, diketahui bahwa tingkat akurasi jawaban yang diberikan oleh ChatGPT hanya sekitar 48 persen.

Ini menjadi berbahaya ketika pengguna menerima informasi yang salah tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut.

Sebagai contoh, seorang jurnalis bernama Fred Riehl pernah menggunakan ChatGPT untuk membuat ringkasan dokumen hukum.

Namun, sistem justru memberikan informasi palsu yang menuduh seorang penyiar radio, Mark Walters, terlibat dalam penggelapan dana dari lembaga militer.

Akibatnya, reputasi Walters rusak, dan ia akhirnya menggugat OpenAI karena kesalahan informasi tersebut.

Meskipun pihak OpenAI berargumen bahwa pengguna harus bertanggung jawab terhadap penggunaan aplikasi ini, pengadilan tetap melanjutkan proses hukum atas dasar kerugian yang ditimbulkan.

2. Etika Pengumpulan Data dan Perlindungan Privasi

Proses kerja ChatGPT yang mengandalkan data dari berbagai sumber internet juga menimbulkan pertanyaan etis.

Tidak semua informasi yang dikumpulkan berasal dari sumber tepercaya, dan tak jarang data pribadi pun ikut terserap tanpa izin atau kompensasi kepada pemiliknya.

Situs-situs berita, misalnya, mendapatkan penghasilan dari iklan saat artikelnya dibaca.

Namun, jika konten mereka diambil dan digunakan oleh AI tanpa kunjungan ke situs asli, maka sumber pendapatan tersebut otomatis hilang.

Dalam kasus tertentu, perusahaan seperti Samsung pun sempat mengalami kebocoran data akibat penggunaan ChatGPT oleh karyawan mereka.

Beberapa di antaranya memasukkan data sensitif ke dalam sistem, termasuk kode sumber dan transkrip rapat internal, tanpa menyadari bahwa data tersebut disimpan untuk pelatihan model lebih lanjut.

Bahkan, sebuah bug pernah membuat data pribadi milik lebih dari 100 pengguna ChatGPT bocor dan dijual di dark web.

Di Indonesia sendiri, terdapat 25.555 akun yang terdampak. Selain itu, marak juga penipuan dengan tampilan antarmuka palsu menyerupai ChatGPT untuk mencuri data pengguna melalui ekstensi Chrome berbahaya.

3. Eksploitasi Tenaga Kerja dan Dampak Mental

OpenAI pernah bekerja sama dengan perusahaan outsourcing di Kenya untuk melakukan moderasi konten yang dihasilkan AI.

Para pekerja ini bertugas menyaring konten tidak layak seperti kata-kata kasar, ujaran kebencian, dan konten kekerasan.

Mereka dibayar antara Rp20.000 hingga Rp31.000 per jam, angka yang dianggap sangat rendah mengingat beban kerja dan dampak psikologis yang dihadapi.

Akibat paparan konten berbahaya secara terus-menerus, banyak dari mereka mengalami stres berat. Setelah laporan investigatif dari Time, kerja sama tersebut akhirnya dihentikan.

4. Ketergantungan dan Isolasi Sosial

Kemudahan dan kecepatan ChatGPT dalam menjawab pertanyaan telah menyebabkan sebagian orang menjadi terlalu bergantung pada teknologi ini.

Bahkan, ada yang menjadikan ChatGPT sebagai teman curhat atau seolah-olah sedang menjalani hubungan romantis dengannya.

Hal ini dikhawatirkan dapat menurunkan intensitas interaksi sosial manusia secara langsung dan berdampak pada kesehatan mental.

5. Deepfake dan Penipuan Digital

Kemampuan AI dalam meniru gaya komunikasi seseorang juga telah dimanfaatkan untuk kegiatan kejahatan digital, termasuk membuat deepfake dan pesan palsu yang meniru tokoh terkenal atau orang terdekat korban.

Sebagai contoh, akun Instagram yang diretas bisa digunakan untuk meminjam uang atau menyebarkan link berbahaya dengan berpura-pura sebagai pemilik asli.

Bahkan, video publik figur seperti Ridwan Hanif pernah dipalsukan dengan konteks yang sepenuhnya berbeda demi kepentingan komersial atau penipuan.

6. Potensi Penyalahgunaan di Dunia Kerja dan Akademik

Penggunaan AI di dunia pendidikan dan pekerjaan juga menjadi isu penting.

Kini, banyak siswa atau mahasiswa yang menggunakan ChatGPT untuk mengerjakan ujian atau tugas tanpa pemahaman yang sebenarnya.

Hal serupa juga mulai terlihat di dunia kerja, di mana surat lamaran atau portofolio hasil AI bisa mengecoh perekrut kerja. HRD perlu lebih jeli agar tidak salah dalam menilai kandidat.

AI sebagai Alat, Bukan Pengganti Otak Manusia

Seiring maraknya pelarangan penggunaan ChatGPT di berbagai negara, alasan utamanya tetap berkisar pada ancaman terhadap privasi, potensi informasi yang menyesatkan, serta penyalahgunaan data.

Maka dari itu, perlu ditekankan bahwa AI seharusnya hanya dijadikan sebagai alat bantu, bukan pengganti nalar dan kreativitas manusia.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia bahkan menekankan pentingnya human-focus skills, yakni kemampuan untuk bekerja dan berinteraksi dengan sesama manusia, sebuah hal yang tidak dimiliki oleh kecerdasan buatan.

ChatGPT dan teknologi AI lainnya memang memberikan kemudahan luar biasa dalam mengakses informasi. Namun, di balik kemudahan tersebut, terdapat berbagai ancaman yang perlu diwaspadai.

Bijak dalam menggunakan teknologi adalah kunci utama agar kita tidak menjadi korban dari kemudahan yang kita ciptakan sendiri. Gunakan AI seperlunya, selalu lakukan verifikasi informasi, dan jangan sampai teknologi mengambil alih kemampuan berpikir kritis manusia.

Berita Terkait

News Update