POSKOTA.CO.ID - Priguna Anugerah Pratama, seorang dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad), resmi menjadi tersangka kasus rudapaksa yang terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Ia diketahui mengambil spesialisasi di bidang anestesiologi suatu bidang yang memiliki tanggung jawab besar terhadap kondisi kesadaran dan keamanan pasien.
Namun, ironisnya, pengetahuan medis dan akses terhadap obat bius justru disalahgunakan oleh Priguna untuk melancarkan aksi bejat terhadap seorang pendamping pasien.
Baca Juga: Viral Tabrakan Maut di Tol Bojong Pekalongan: Mobil Lawan Arah Hantam Bus Rombongan
Kronologi Kejadian
Insiden ini terjadi pada tanggal 18 Maret 2025 di lantai 7 gedung MCHC, RSHS Bandung. Korban berinisial FH (21), seorang pendamping pasien, mengaku diminta oleh pelaku untuk ikut ke salah satu ruangan dengan dalih pengambilan sampel darah. Di dalam ruangan, Priguna diduga membius korban dan melakukan rudapaksa.
Kasus ini kemudian dilaporkan oleh FH, yang menjadi titik awal dari terbongkarnya kejahatan yang dilakukan oleh tenaga medis yang seharusnya menjaga etika dan integritas profesi.
Terbongkarnya Korban Lain
Hasil penyelidikan lebih lanjut yang dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat mengindikasikan bahwa jumlah korban tidak hanya satu orang. Kombes Pol. Surawan menyampaikan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, terdapat tiga orang korban: dua pasien dan satu pendamping pasien.
Temuan kunci: Polisi menemukan kantong plastik usang yang diyakini berkaitan dengan tindakan pelaku, memperkuat dugaan bahwa kasus ini telah terjadi lebih dari sekali.
"Dugaan sementara ada tiga korban, dan proses penyelidikan masih berjalan," ujar Kombes Surawan kepada awak media.
Penanganan dan Tindakan Hukum
Priguna Anugerah Pratama telah resmi ditangkap oleh pihak berwenang. Penanganan kasus ini mendapatkan perhatian besar karena melibatkan etika kedokteran dan pelanggaran hukum berat. Selain proses pidana, pelaku juga menerima sanksi administratif yang berat dari organisasi profesi kedokteran.
Sanksi yang dijatuhkan adalah penonaktifan Surat Tanda Registrasi (STR) secara permanen, yang berarti Priguna tidak akan dapat lagi menjalankan praktik medis dalam kapasitas apapun di Indonesia.
Respons dan Reaksi Publik
Unggahan akun Instagram @drg.mirza turut membantu menyebarluaskan informasi awal terkait kasus ini. Postingan tersebut mengundang ribuan komentar dari masyarakat yang mengecam tindakan pelaku dan mendukung para korban.
Fokus publik bukan hanya pada pelaku, tetapi juga pada nasib korban dan bagaimana institusi kedokteran menangani kasus ini secara menyeluruh.
Sikap Institusi dan Penegakan Etika Profesi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Rumah Sakit Hasan Sadikin disebut tengah berkoordinasi dengan pihak kepolisian serta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memfasilitasi proses hukum.
Lembaga pendidikan tinggi di bidang kesehatan memiliki tanggung jawab tidak hanya dalam mencetak dokter yang kompeten, tetapi juga dalam memastikan integritas moral peserta didiknya.
Praktik rudapaksa oleh tenaga medis adalah bentuk pelanggaran etik paling berat yang mencoreng nama baik institusi dan merusak kepercayaan publik terhadap dunia kesehatan.
Modus dan Penyalahgunaan Profesi
Dalam pengakuannya kepada penyidik, pelaku berdalih bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk pertama kalinya. Namun, pernyataan ini bertentangan dengan fakta temuan polisi yang menunjukkan adanya lebih dari satu korban.
Modus pelaku yang berpura-pura menjalankan prosedur medis lalu membius korban sangat berbahaya dan menunjukkan adanya penyalahgunaan akses dan kepercayaan yang diberikan oleh sistem rumah sakit.
Aspek Hukum: Pasal yang Dikenakan
Dalam konteks hukum, tindakan Priguna Anugerah Pratama memenuhi unsur pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan dan pasal-pasal lain yang mengatur penyalahgunaan wewenang dan profesi.
Jika terbukti bersalah, pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara berat serta denda sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Identitas Korban Dirahasiakan
Polisi menyatakan bahwa identitas ketiga korban tidak akan diungkap ke publik demi menjaga privasi dan kondisi psikologis para penyintas. Hal ini sesuai dengan prinsip perlindungan korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Lembaga psikologi forensik dan layanan pemulihan trauma juga dilibatkan untuk memberikan dukungan kepada para korban agar dapat menjalani proses hukum dengan perlindungan yang maksimal.
Tuntutan Sosial untuk Reformasi Sistem
Kasus ini memicu perdebatan di masyarakat mengenai perlunya reformasi sistem pengawasan di rumah sakit, khususnya dalam memberikan akses ruang dan prosedur medis kepada tenaga kesehatan yang masih dalam tahap pendidikan (PPDS). Pengawasan yang lemah membuka celah bagi penyalahgunaan kewenangan.
Selain itu, masyarakat mendorong agar IDI dan instansi pemerintah lebih tegas dalam menindak setiap bentuk pelanggaran etik oleh tenaga medis, baik yang terjadi di ruang praktik klinis maupun selama masa pendidikan spesialis.
Kasus rudapaksa yang melibatkan Priguna Anugerah Pratama menjadi contoh nyata betapa pentingnya etika profesi dalam dunia kedokteran.
Selain berdampak pada korban, kasus ini mencoreng kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan. Penegakan hukum yang tegas, dukungan terhadap korban, serta evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan internal institusi medis menjadi langkah penting ke depan.