JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal kembali menghantui dunia kerja di Indonesia gara-gara kebijakan tarif dari Amerika Serikat. Puluhan ribu buruh bisa kehilangan pekerjaan hanya dalam 3 bulan.
Industri yang mengandalkan pasar ekspor jadi yang paling rentan. Apalagi jika tidak ada perlindungan dari pemerintah. Kondisi ini bisa jadi mimpi buruk kalau dibiarkan berlarut-larut.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengingatkan pemerintah agar tidak menyepelekan dampak dari kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Dia mengatakan, kebijakan ini berpotensi memicu gelombang PHK besar-besaran di Indonesia.
Dia bilang, ada lebih dari 50 ribu pekerja yang bisa kehilangan pekerjaan hanya dalam tiga bulan sejak tarif diberlakukan mulai 9 April 2025.
Baca Juga: Tarif Trump, Biaya Mendominasi
“Kalau yang gara-gara tarif ini, tarif Trump, kemungkinan 3 bulan ke depan, berarti Mei, Juni, Juli bisa 50 ribuan pekerja,” ujar Said Iqbal saat dihubungi Poskota, Rabu, 9 April 2025.
Sektor industri yang paling berisiko meliputi tekstil, garmen, sepatu, elektronik, suku cadang otomotif, hingga makanan dan minuman yang sebagian besar produksinya ditujukan untuk ekspor ke Amerika Serikat. Produk seperti karet dan komoditas tambang juga turut terancam.
Meskipun mayoritas pabrik-pabrik tersebut tersebar di luar Jakarta, Said Iqbal menekankan wilayah Jabodetabek juga bisa terdampak, terutama industri elektronik dan suku cadang mobil yang mengandalkan pasar Amerika.
“Kalau di Jabodetabek, mungkin nanti elektronik tapi elektronik yang orientasi 100 persen ekspor ke Amerika, dan suku cadang mobil,” lanjutnya.
Baca Juga: Tanggapi Tarif Resiprokal Trump, Presiden Prabowo: Kita Siap Hadapi Tantangan dengan Gagah
Menurut data KSPI, sekitar 60 ribu pekerja sudah terkena PHK dalam dua bulan pertama tahun ini. Angka tersebut dikhawatirkan akan terus bertambah jika pemerintah tidak segera turun tangan. Untuk itu, Said Iqbal mendesak pembentukan satuan tugas khusus untuk menangani persoalan PHK secara nasional.
“Presiden bentuk Satgas PHK untuk mengantisipasi kalau terjadi PHK. Sebaiknya kita hindari PHK, tapi kalau terjadi, hak-hak buruh harus dibayar,” tegas Presiden Partai Buruh tersebut.
Di sisi lain, Said Iqbal juga menyoroti potensi banjirnya produk impor ke dalam negeri. Deregulasi yang terlalu longgar menurutnya bisa membuat pasar Indonesia diserbu barang-barang dari luar, terutama dari Tiongkok, yang bisa menggerus daya saing produk lokal.
“Impor ugal-ugalan itu bisa membuat barang China masuk ke Indonesia banjir. Nanti kalah bersaing produk Indonesia,” ucapnya.
Untuk menghadapi tantangan ini, dia menekankan pentingnya renegosiasi dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat. Selain itu, penguatan industri lokal mutlak dibutuhkan agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Said Iqbal menyarankan agar pemerintah menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi pelaku industri lokal. Bentuknya bisa berupa pemberian insentif, peningkatan daya saing produk nasional, hingga memperkuat jaringan distribusi barang-barang lokal.
“Itu dapat membantu meningkatkan daya saing barang-barang buatan Indonesia di pasar internasional,” katanya.
Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Depok Wido Pratikno menyebut hingga saat ini belum ada informasi soal gelombang PHK di wilayahnya.
“Sampai saat ini untuk jumlah PHK akibat kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, belum terdengar informasi,” ujar Wido.
Wido mengatakan, buruh di Indonesia, khususnya di Depok, tidak perlu panik menghadapi kebijakan dari negara asing. Menurutnya, Indonesia memiliki kekayaan alam dan potensi wilayah yang sangat besar sehingga bisa berdiri mandiri tanpa terlalu bergantung pada pasar luar negeri.
"Prinsipnya, apa yang diputuskan Presiden Amerika soal tarif timbal balik tidak perlu ditanggapi berlebihan. Indonesia ini negara besar, punya banyak pulau, hampir seluas Eropa. Jadi ini seharusnya jadi peluang untuk mandiri," tuturnya.
Dia juga mendorong agar Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto, bisa mengambil langkah konkret dengan memperkuat konektivitas antar pulau. Menurut Wido, jika transaksi antarwilayah diperkuat, maka perekonomian dalam negeri bisa tumbuh lebih solid.
"Dengan 270 juta penduduk, kita punya daya beli yang kuat. Negara-negara lain pun sebenarnya lebih butuh Indonesia. Ini peluang besar untuk jadi negara penghasil devisa tanpa terlalu bergantung ke Amerika,” kata dia.
Meski mengakui bahwa pada awalnya kebijakan ekspor ke Amerika akan menimbulkan dampak tertentu, Wido meminta pemerintah segera bersiap sejak dini.
Langkah yang bisa diambil antara lain memperkuat sektor industri yang menyerap tenaga kerja besar, sehingga menciptakan peluang pekerjaan baru.
“Sejak sekarang, pemerintah perlu siapkan strategi produksi industri yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Ini bisa jadi solusi atas ancaman PHK,” imbuhnya.
Wido juga menyinggung dana pensiun para buruh yang tersimpan di Jamsostek. Menurutnya, dana tersebut sangat besar dan bisa dimanfaatkan untuk mendorong para buruh pensiunan membuka usaha baru.
“Dana pensiunan buruh di Jamsostek itu nilainya sekitar Rp1.000 triliun. Uang ini akan cair menjelang masa pensiun dan bisa dimanfaatkan untuk buka usaha. Daripada hanya disimpan, lebih baik diputar jadi modal produktif,” jelasnya.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jakarta, Diana Dewi, turut angkat bicara. Dia menuturkan, kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump bisa menimbulkan dampak serius terhadap perekonomian Indonesia, terutama di sektor ekspor dan industri.
“Ancaman PHK akibat kelesuan ekonomi cukup signifikan,” ujarnya.
Diana mengungkapkan, di Jakarta saja, sebanyak 2.650 pekerja sudah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya dalam bulan Februari 2025. Secara nasional, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sekitar 18 ribu pekerja terpaksa kehilangan mata pencaharian dalam dua bulan pertama tahun ini.
Ia juga menekankan, dampak dari kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan AS bisa merembet ke banyak sektor. Selain penurunan ekspor, sektor riil juga diprediksi terkena tekanan berat. Bahkan, pelemahan nilai tukar rupiah hingga potensi resesi bisa menjadi konsekuensi nyata jika situasi tidak segera ditangani.
“Berdampak besar ke sektor riil, melemahnya nilai tukar rupiah, ketidakpastian berusaha, dan bermuara pada resesi ekonomi,” jelasnya.
Di tengah tantangan tersebut, KADIN Jakarta mendorong pelaku usaha agar mulai memperluas cakupan pasar. Menurut Diana, ini momen yang tepat untuk mencari peluang baru di luar Amerika Serikat. Pasar Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin bisa menjadi ladang baru untuk memperluas ekspor.
“Dalam kacamata positif, saya melihat kebijakan Trump ini justru menjadi peluang bagi perusahaan-perusahaan Indonesia yang mungkin selama ini merasa nyaman ekspor ke AS,” terangnya.
Diana menilai, kebijakan tarif tinggi dari Trump bisa menjadi bumerang bagi Amerika sendiri. Sebab, negara tersebut akan kesulitan memenuhi kebutuhan domestiknya yang selama ini dipenuhi lewat impor dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
“Justru saya khawatir kebijakan Trump ini jadi blunder bagi warga AS nantinya karena akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan yang mungkin selama ini diimpor dari negara lain,” ucapnya.
Sebagai langkah lanjutan, Diana berharap Pemprov Jakarta juga mengambil bagian aktif dalam menyikapi kondisi ini. Dia meminta agar dilakukan kajian menyeluruh mengenai dampak tarif internasional dan disusun strategi mitigasi yang bisa meningkatkan daya saing industri lokal.
“Kami merasa, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Pemprov Jakarta antara lain, menghitung dampak kenaikan tarif, mengembangkan strategi mitigasi, meningkatkan daya saing, diversifikasi pasar, dan koordinasi dengan para stakeholder, utamanya dunia usaha,” tutur Diana.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, menilai kebijakan tarif tambahan sebesar 32 persen yang diterapkan oleh Amerika Serikat terhadap produk Indonesia merupakan ancaman serius yang tak boleh dipandang sebelah mata.
Menurut Andry, sektor-sektor ekspor utama Indonesia seperti tekstil, pakaian, dan alas kaki sangat rentan terkena imbas dari kebijakan ini.
“Sektor tekstil, pakaian, dan alas kaki menyumbang 27,5 persen dari total ekspor kita ke AS. Belum lagi kelapa sawit serta karet yang juga merupakan komoditas strategis bagi negara kita,” kata Andry.
Dia menambahkan, dampak dari tarif resiprokal tersebut bukan hanya soal penurunan volume perdagangan.
Lebih jauh lagi, tekanan ini dapat berujung pada kerugian besar bagi sektor tenaga kerja di dalam negeri. Jutaan pekerja terancam kehilangan pekerjaan, termasuk yang berada di Jakarta dan kawasan penyangganya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Andry mengingatkan, situasi ini bukan lagi ancaman di atas kertas. Dalam tiga tahun terakhir saja, lebih dari 30 pabrik tekstil dan industri turunannya sudah gulung tikar akibat tekanan dari pasar global.
“Jika pemerintah terus diam tanpa mengambil tindakan nyata, kita bukan hanya kehilangan pasar utama tetapi juga akan menghadapi badai PHK lanjutan yang jauh lebih besar,” tegasnya.
Dia menilai, pemerintah perlu segera turun tangan dan menunjukkan keseriusan dalam menghadapi efek domino dari kebijakan perdagangan luar negeri tersebut. Menurutnya, kebijakan ini harus dijawab dengan langkah-langkah konkret yang bisa melindungi industri lokal dan para pekerja di dalamnya.
Salah satu langkah strategis yang dia sarankan adalah penunjukan duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat yang memiliki kapasitas dan pengalaman kuat di bidang perdagangan dan diplomasi ekonomi.
“Jabatan ini bukan tempat kompromi politik. Kami membutuhkan sosok dengan pemahaman mendalam tentang diplomasi ekonomi dan pengalaman dalam lobi dagang,” katanya.
Andry juga menekankan, Indonesia harus memperkuat posisi tawar dalam menghadapi kebijakan-kebijakan proteksionis dari negara mitra dagang. Dengan diplomasi yang kuat dan strategi ekonomi yang terencana, Indonesia bisa menjaga stabilitas industri ekspor serta melindungi pekerja dari ancaman kehilangan mata pencaharian.