POSKOTA.CO.ID – Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan enam (6) jurnalis dari enam (6) media berbeda menghasilkan sebuah dialog panjang mengenai isu terkini di Tanah Air.
Salah satu isu yang banyak disorot adalah mengenai demo yang belakangan terjadi terkait RUU TNI.
Dalam pernyataannya, Prabowo menuding bahwa para pendemo RUU TNI dibayar pihak asing untuk melakukan aksi tersebut.
Menanggapi hal itu, aktor yang terkenal vokal, yakni Fedi Nuril membuka suaranya.
Baca Juga: Fedi Nuril Meminta Presiden Prabowo untuk Buktikan jika Demo RUU TNI Dibayar Kekuatan Asing
Fedi Nuril secara terang-terangan mengkritik pernyataan Prabowo terkait hal tersebut. Melalui akun X resmi, Fedi Nuril mengkritik dan meminta bukti dari sang presiden.
“Kepada Pak @prabowo Secara objektif artinya keadaan yang sebenarnya/faktual. Sedangkan yang bapak lakukan adalah menginsinuasi para pedemo dengan bertanya “murni atau dibayar” dan “mewanti2 kemungkinan,” tulis Fedi dikutip Poskota dari akun X @realfedinurli pada Rabu, 9 April 2025.
Baca Juga: Hasan Nasbi Jawab Santai soal Teror Kepala Babi, Fedi Nuril Geram!
Lebih lanjut, aktor 42 tahun itu bertanya bukti bahwa pendemo RUU TNI dibayar oleh pihak asing.
“Mana fakta/bukti bahwa para pedemo RUU TNI dibayar oleh kekuatan asing?” pungkasnya.

Kenapa UU TNI banyak ditolak masyarakat?
UU TNI banyak ditolak oleh masyarakat karena berbagai hal.
Pertama, banyak pihak menilai bahwa UU ini membuka kembali ruang bagi militer untuk terlibat aktif dalam urusan sipil, mirip seperti masa Orde Baru saat dwifungsi ABRI masih berlaku.
Saat itu, militer tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan, tetapi juga aktif dalam pemerintahan dan birokrasi sipil, yang kemudian terbukti menyuburkan otoritarianisme.
Baca Juga: Fedi Nuril Mengkritisi Ifan Seventeen yang Menjabat Sebagai Dirut PFN
Kedua, Revisi UU TNI memperluas tugas militer ke 16 jenis penugasan di luar operasi militer untuk perang (OMP). Ini termasuk keterlibatan dalam penanganan bencana, aksi terorisme, bahkan pengamanan objek vital nasional tanpa persetujuan dari otoritas sipil.
Banyak yang khawatir bahwa hal ini bisa dimanfaatkan untuk militerisasi ruang sipil tanpa pengawasan publik yang memadai.
Ketiga, penambahan wewenang militer dalam berbagai ranah tidak diiringi dengan mekanisme pengawasan yang transparan dan kuat dari lembaga sipil.
Ini dikhawatirkan akan membuat militer makin kebal dari kritik atau akuntabilitas, yang pada akhirnya mengancam prinsip check and balance dalam demokrasi.