“Ingat kebaikannya, lupakan kesalahannya. Kita acap lupa dengan kebaikan seseorang hanya karena satu kesalahan. Seakan satu kesalahan itu menghapus ribuan kebaikan yang pernah dilakukan,”
-Harmoko-
Selama bulan Ramadan kita kenal istilah Safari Ramadan. Begitu hari raya tiba, kita kenal Safari Lebaran. Dua kata yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama, membangun silaturahmi dengan sanak famili, kerabat dekat, tak terkecuali tokoh masyarakat, melalui kunjungan singkat.
Dua momen ini pula yang acap dilakukan oleh para elite politik, petinggi parpol dan tokoh bangsa untuk bertatap muka saling menyapa tanpa prasangka.
Saling mendoakan dengan ketulusan serta saling memaafkan dengan penuh kesadaran untuk melepas beban.
Ini dinamika politik yang terjadi pasca lebaran ini yang tergambar secara nyata dengan adanya momen saling berkunjung sesama tokoh bangsa.
Saling meminta maaf dan memberi maaf, bukan hanya sesama pejabat, pejabat dengan mantan pejabat. Juga pejabat dengan rakyatnya yang dikemas dalam beragam acara, mulai dari open house hingga kunjungan privat.
Itulah indahnya saling memaafkan dengan melupakan segala kesalahan masa lalu sebagai esensi kata maaf, sebesar apa pun kesalahan yang pernah diperbuat akibat beda tafsir politik, sikap politik maupun dukungan politik.
Akan semakin indah, manakala berlanjut dengan perilaku perbuatan yang semakin nyata, bukan sebatas retorika membangun citra.
Terbangun kehidupan politik yang semakin harmoni, di tengah adanya perbedaan sikap politik. Perbedaan harus disyukuri karena dapat saling melengkapi dan menambah keindahan, tak ubahnya pelangi, menyatunya warna-warni kian menambah harmoni dan keindahan.
Yang hendak kami sampaikan adalah jangan lihat perbedaannya, tetapi menyatunya perbedaan dengan senantiasa saling melengkapi dan menghargai keberadaan masing-masing.
Falsafah bangsa kita telah memberi arah agar musyawarah dan mufakat menjadi kunci penyelesaian perbedaan yang ada. Maknanya perbedaan itu jangan dibesar-besarkan, apalagi dipertentangkan.
Namun, perbedaan juga tak bisa boleh dihapuskan, melainkan diselaraskan dan diharmoniskan menjadi indah sebagaimana pelangi tadi.
Dalam forum apa pun yang digelar, hadir bukan dengan mengusung perbedaan, tetapi mengedepankan solusi demi masa depan yang lebih baik lagi.
Sebagaimana safari lebaran, berkunjung bukan membawa perbedaan, mengungkit masa lalu, kesalahan –kesalahan di masa lalu, lebih – lebih dendam politik masa lalu.
Tetapi bersilaturahmi dengan meminta maaf, kemudian saling memaafkan, kembali kepada kesucian diri dan jiwa sebagai pijakan awal membangun komunikasi.
Pola ‘Safari Lebaran’ inilah yang hendaknya perlu terus dikembangkan oleh para elite politik dan tokoh bangsa dalam membangun komunikasi politik yang lebih harmoni.
Di instansi mana pun para elite berada, safari politik ala lebaran hendaknya menjadi inspirasi sebagai kata kunci mencapai cita – cita negeri, terwujudnya kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Datang meminta maaf, lepas ada atau tidak ada kesalahan yang pernah dilakukan, adalah lebih baik, akan tercipta kesejukan dan keharmonisan, ketimbang dengan asap kemarahan yang terpendam akibat perseteruan, ketersinggungan politik masa lalu.
Ini menjadi penting, mengingat kita acap lupa dengan kebaikan seseorang hanya karena satu kesalahan. Seakan satu kesalahan itu menghapus ribuan kebaikan yang pernah dilakukan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Agama apa pun mengajarkan kebaikan tetaplah kebaikan. Sebesar apapun kesalahan yang dilakukan seseorang, jangan pernah menghilangkan kebaikan yang pernah ia lakukan kepada kita.
Islam mengajarkan siapa yang memperoleh kebaikan dari orang lain, hendaknya dia membalasnya. Jika tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah dia memuji orang tersebut, karena jika dia memujinya maka dia telah mensyukurinya. Jika menyembunyikannya, berarti dia telah mengingkari kebaikannya.
Ingat kebaikannya, lupakan kesalahannya. Itu pula yang hendaknya dikedepankan oleh para elite politik, pejabat dan birokrat serta tokoh masyarakat dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara.
Tentu kebaikan untuk rakyat, bukan untuk dirinya, kerabatnya. Bahwa pada akhirnya berefek kebaikan bagi dirinya dan kerabatnya, itu buah dari upaya senantiasa menggulirkan kebijakan demi kebaikan rakyat.
Rumusan ini kian urgen, terlebih di era kini, di tengah masih adanya tekanan ekonomi, politik dan sosial. Belum lagi situasi global yang masih belum pasti.
Dalam pepatah Jawa dikenal “Amemangun karyenak tyasing sesama” yang dalam serat Wedhatama karya Mangkunegara IV, disebutkan bahwa selalu berusaha berbuat baik dengan orang lain, menyenangkan hati sesama dengan tanpa melihat latar belakangnya.
Yang dimaksud tidak menyebabkan permusuhan, pertengkaran, dan perseteruan. Tidak pula menyakiti dan menghakimi, tetapi menolong tanpa pamrih. Memanusikan manusia. (Azisoko).