JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Ratusan warga tampak sedang menanti detik-detik berbuka puasa di lingkungan sekitar Masjid Jami Annawier dan Masjid Azzawiyah di Pekojan, Jakarta Barat, Rabu, 26 Maret 2025.
Di antara mereka, tampak wajah-wajah keturunan Hadramaut (Yaman), Arab, dan India yang telah lama bermukim di kawasan tersebut.
Petang itu bukan sekadar buka puasa bersama, melainkan tradisi turun-temurun di malam 27 Ramadhan, yang telah berlangsung sejak tahun 1800-an.
Baca Juga: Masjid Jami Al Barkah, Dibangun Guru Sinin dengan Kayu Kelapa
Malam tersebut diyakini penuh keberkahan dan menjadi momen bagi umat Islam untuk berkumpul, berbuka puasa bersama, dan menyelesaikan bacaan Alquran dalam khataman yang telah dilakukan sepanjang bulan suci.
Tradisi ini terus lestari dari generasi ke generasi, dan menjadi salah satu agenda yang paling dinantikan setiap tahunnya.
Sejak sore, aroma masakan khas Timur Tengah menyeruak dari dapur-dapur rumah warga. Di halaman masjid, hidangan khas seperti nasi kebuli dan aneka kurma telah tertata rapi.
Di Masjid Jami Annawier yang berdiri kokoh sejak abad ke-18, warga duduk melingkar di atas lantai, menikmati sajian yang disuguhkan dalam nampan besar. Ini adalah tradisi penyajian makanan ala Timur Tengah yang masih dipertahankan hingga kini.
Baca Juga: Kisah Masjid Gaib di Jakarta, Warga Tak Tahu Siapa yang Mendirikan
Tidak ada piring terpisah, semua orang berbagi dalam satu wadah yang sama, melambangkan kebersamaan yang telah menjadi ciri khas kampung ini.
Seorang warga setempat mengungkapkan kebahagiaannya bisa kembali menikmati tradisi ini. "Sejak kecil saya sudah ikut berbuka di masjid ini. Senang rasanya melihat tradisi ini tetap ada dan diteruskan oleh generasi muda," ujarnya.
Setelah berbuka, para jamaah segera melaksanakan salat Magrib berjamaah.
Malam itu juga menjadi puncak dari tadarus yang telah berlangsung sejak awal Ramadan. Para hafiz dan santri bergantian melantunkan ayat-ayat terakhir, menutup bacaan 30 juz Alquran dengan penuh kekhusyukan.
Bagi warga Pekojan, khataman Alquran bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga simbol persatuan komunitas Muslim di kampung ini. "Kami bukan hanya membaca Alquran, tetapi juga berusaha mengamalkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi ini mengajarkan kami pentingnya berbagi dan kebersamaan,” kata seorang jamaah.
Tradisi buka puasa bersama dan khataman Alquran ini sempat terhenti selama dua tahun akibat pandemi. Kini, ketika kondisi mulai membaik, warga dengan antusias kembali menjalankannya.
Generasi muda pun diajak untuk ikut serta, agar mereka memahami dan meneruskan warisan leluhur ini. Tradisi ini juga menarik perhatian masyarakat di luar Pekojan.
Banyak warga Jakarta yang datang untuk merasakan atmosfer Ramadan di Kampung Arab Pekojan, menyaksikan bagaimana budaya Arab dan Nusantara berpadu dalam satu tradisi yang kaya makna.
Masjid Jami’ Annawier dan Masjid Azzawiyah bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga saksi bisu perjalanan panjang komunitas Muslim keturunan Arab di Jakarta.
"Ini bukan hanya tradisi, tetapi juga bagian dari identitas kami. Setiap suapan nasi kebuli, setiap lantunan ayat suci, semuanya adalah bagian dari sejarah yang harus terus hidup," ujarnya.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, hidangan berbuka puasa tak hanya berasal dari warga setempat, tetapi juga merupakan sumbangan dari para habib dan jamaah lainnya.
Buka puasa bersama ini hanya diikuti oleh kaum laki-laki, sementara para perempuan berbuka bersama di rumah masing-masing. Sebelum azan Magrib berkumandang, hidangan telah disiapkan. Es sirup kelapa muda dan kurma menjadi pelepas dahaga sebelum santapan utama disajikan.
Antusiasme warga terlihat dari jumlah jamaah yang terus bertambah, bahkan meluber hingga ke jalanan sekitar masjid. Tradisi ini bukan hanya sekadar makan bersama, tetapi juga ajang silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan antarwarga.
Dalam tradisi Kampung Arab, warga juga saling mengunjungi rumah satu sama lain untuk mencicipi hidangan khas, melambangkan toleransi dan kebersamaan yang terus dijaga.
Nasi kebuli, dengan potongan daging kambing yang gurih, ayam berbumbu khas, serta acar segar, menjadi sajian utama yang dinikmati bersama. Budaya Arab terasa begitu kental, terutama dalam kuliner yang dihidangkan saat berbuka puasa.
Setelah perut kenyang, warga kembali bersiap melaksanakan salat Isya dan Tarawih berjamaah, melengkapi malam penuh keberkahan ini.
Di tengah gempuran modernisasi dan perubahan gaya hidup, tradisi ini tetap bertahan. Kampung Arab Pekojan terus menjaga warisan leluhurnya, memastikan bahwa malam 27 Ramadan selalu menjadi momen penuh makna bagi mereka.
Ramadan di Pekojan bukan hanya soal ibadah, tetapi juga soal menjaga tradisi dan kebersamaan, mengikat hati dalam satu ikatan yang tak lekang oleh waktu.