JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Yeni, 53 tahun, masih setia menunggu di lapaknya di Pasar Palmerah, Jakarta Barat.
Dia sibuk merapikan tumpukan kerudung yang sudah lama tak tersentuh pembeli. Waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB, tapi belum ada satu pun orang yang mampir ke kiosnya.
"Belum ada yang beli ini, dari sore buka belum ada yang beli," kata dia kepada Poskota, belum lama ini.
Wajahnya yang lelah semakin tampak jelas di bawah redupnya cahaya lampu pasar. Bersama sang suami, Yeni telah puluhan tahun berdagang di pasar ini.
Baca Juga: Jual Emas demi Penuhi Kebutuhan Lebaran
Dia menjual kerudung, sementara suaminya menyediakan berbagai jenis pakaian, mulai dari baju hingga celana.
Dari hasil dagangan mereka, lima anak berhasil dibesarkan. Bahkan kini sudah ada cucu yang ikut meramaikan keluarga kecilnya.
Namun, bisnis yang dulu menjadi sandaran hidup mereka, sekarang justru terasa semakin berat. Sejak pandemi Covid-19 melanda, omzetnya menurun drastis.
Pasar yang dulu ramai kini lebih sering sepi. "Dulu bisa dapat sampai Rp 500 ribu sehari. Sekarang paling Rp 100 ribu, itu juga buat makan sehari-hari," ujarnya.
Baca Juga: Manusia Gerobak Serbu Jakarta, Bisa Kantongi Rp100 Ribu Sehari
Meski belanja online semakin marak, Yeni tetap bertahan. Baginya, berjualan di Pasar Palmerah adalah bagian dari kehidupannya. "Dulu masih ada pelanggan yang beli satu lusin. Sekarang paling beli satu atau dua saja," kata dia.
Menurut Yeni, salah satu penyebab sepinya pasar tradisional adalah hilangnya daya tarik. Dia mengatakan, dulu ada pusat perbelanjaan seperti Ramayana dan wahana permainan anak yang membuat banyak orang berbondong-bondong ke pasar.
"Kalau dulu ramai ya karena itu, sekarang Ramayana sama tempat main anak kan udah gak ada," ujarnya.
Slamet, 63 tahun, juga mengalami nasib serupa. Pedagang pakaian ini menyebutkan, penjualan semakin sulit dalam beberapa tahun terakhir. "Pokoknya sejak Covid-19 itu jadi sepi, pasar juga sekarang jadi sepi," katanya.
Dia teringat masa-masa ketika pasar tradisional menjadi pusat keramaian. Saat itu, orang-orang datang bukan hanya untuk belanja, tetapi juga untuk menikmati suasana pasar yang hidup. Kini itu hilang.
"Ya lihat saja sekarang kondisinya. Kalau begini, siapa juga yang mau ke pasar?," ujarnya, sembari melirik lapaknya yang sepi.
Lebih menyedihkan lagi, uang yang didapatnya kini hanya cukup untuk kebutuhan harian. Dulu, dia masih bisa menyisihkan sedikit penghasilan untuk ditabung.
Sekarang, setiap rupiah yang masuk langsung habis untuk membeli makanan. "Sekarang dapat pembeli, uangnya buat beli makan aja, mau nabung gak bisa juga karena pas-pasan," ucapnya.
Bagi para pedagang seperti Yeni dan Slamet, pasar tradisional masih bisa diselamatkan dan dikembalikan daya tariknya. Salah satunya dengan melakukan peremajaan, dibarengi wahana hiburan yang menarik. Mereka berharap, denyut pasar tradisional kembali hidup.