Kopi Pagi: Mudik Membangun Negeri (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi

Kopi Pagi: Mudik Membangun Negeri

Kamis 27 Mar 2025, 07:59 WIB

“Banyak cara bagaimana mengelola mengelola uang pemudik untuk membangun desanya, sepanjang ada kemauan yang didasari ketulusan, tanpa pamrih,”

-Harmoko-

Mudik alias pulang kampung pada hari-hari besar keagamaan seperti Idul Fitri sudah menjadi aktivitas rutin tahunan masyarakat Indonesia sejak dulu kala.

Mudik, tak hanya berlaku di negara kita. Bangladesh, Turki dan Nigeria sama seperti Indonesia, mudik saat lebaran, sementara di Tiongkok dan Malaysia saat perayaan Imlek.

Di negara maju pun ada acara serupa kegiatan mudik, hanya beda polanya. Di Amerika Serikat dikenal Thanksgiving, liburan populer yang dimanfaatkan untuk mengunjungi sanak family, berkumpul bersama keluarga.

Budaya mudik di Korea bisa dilihat saat Chuseok, hari libur nasional di pertengahan musim gugur. Biasa disebut hari panen, festival bulan musim panen.  Momen itu digunakan untuk pulang kampung berkumpul bersama keluarga.Tak ubahnya ketika masyarakat Indonesia mudik lebaran.

Jika mudik ini sudah menjadi tradisi dan budaya bangsa kita, perlu terus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga semakin banyak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.

Kian memberikan nilai tambah bagi bangsa kita, dengan mencegah agar aktivitas tahunan ini tidak menjadi ‘wah’, pamer kekayaan, adu gengsi dan prestasi yang dapat memicu kerenggangan dan ketersinggungan sosial. Kondisi yang bertolak belakang dari tujuan utama mudik lebaran.

Yang hendak kami sampaikan, bagaimana mengemas nilai silaturahmi tetap terjaga, tetapi bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Artinya mengambil hikmah dari pemudik lebaran yang setiap tahun terus meningkat jumlahnya, seiring dengan meningkatnya arus urbanisasi. Bertambahnya keluarga dari desa yang bekerja dan tinggal di kota-kota besar seperti di Jabodetabek.

Hasil survei menyebutkan sekitar 52 persen penduduk Indonesia atau 146,48 juta orang akan melakukan mudik Lebaran tahun 2025 ini. Jika rata-rata satu keluarga 4 orang, maka jumlah 146,48 pemudik ini setara dengan 36,26 keluarga.

Kalau setiap keluarga rata-rata membawa bekal sebesar Rp5 juta, maka potensi perputaran uang selama mudik lebaran sekitar Rp 176,3  triliun. Ini angka yang begitu besar untuk menggerakan perekonomian rakyat di pedesaan.

Melalui mudik telah menciptakan kegiatan ekonomi ekstra karena adanya permintaan efektif (effective demand), terutama sektor transportasi, produksi, dan perdagangan barang atau jasa, serta aktivitas di bidang pariwisata dan kuliner.

Jika melihat kalender cuti bersama, bisa diduga, para pemudik ini akan berada di kampung halaman minimal selama sepekan. Artinya selama itu pula akan membelanjakan uangnya di kampung, di desanya masing-masing.

Kalau saja uang tersebut dapat dikelola secara baik oleh pemerintah daerah maka dapat dijadikan modal pembangunan.

Selama ini perputaran uang lebih banyak terjadi di tempat-tempat wisata, kuliner dan kawasan bisnis tertentu saja. Bagi daerah tertentu sudah mulai menggelar festival seni dan budaya untuk menarik perputaran uang pemudik.

Ke depan perlu ditingkatkan lagi menggaet pemudik sebagai investor untuk membangun atau mengembangkan daerah industri kreatif melalui usaha bersama. Ini hendaknya menjadi gerakan nasional, mudik lebaran membangun desanya, mudik lebaran membagun negeri.

Dapat diibaratkan ‘belanja sosial’ lebih diarahkan kepada usaha produktif untuk membangun desa. Bisa di bidang agribisnis, perikanan, peternakan dan kehutanan yang menjadi unggulan potensi lokal.

Setidaknya ada tiga pola yang sekiranya bisa dimanfaatkan untuk mengelola uang yang dibawa pemudik.

Pertama, melalui jalur paguyuban. Lazimnya mereka yang merantau ke kota sering menjalin komunikasi dalam bentuk forum komunikasi atau paguyuban warga asal daerah (berasas ikatan geografis). Bahkan, dalam dunia digital sekarang ini, munculnya grup – grup melalui WAG, sehingga makin memudahkan pejabat setempat menitipkan pesan agar anggota paguyuban ikut peduli membangun desanya.

Kepedulian membangun desa dapat dialokasikan untuk meningkatkan fasilitas pendidikan, beasiswa, sarana dan prasarana desa. Tapi, bantuan tidak harus materi, bisa juga pemikiran dan konsep untuk mengatasi persoalan yang terjadi di desanya.

Kedua, melalui wadah koperasi. Kepala desa atau pejabat setempat bisa membentuk koperasi yang mengelola produk barang dan jasa. Para perantau bisa memberikan bantuan modal, pengetahuan atau jalur distribusi dan pemasaran terhadap produk unggulan.

Koperasi Merah Putih  yang akan dibangun di setiap desa, dapat diarahkan menyentuh persoalan ini.

Ketiga, ada semacam kewajiban untuk membeli produk unggulan di desanya sebagai bagian dari promosi desanya. Tak hanya saat mudik, tetapi secara rutin sebagai bagian dari upaya meningkatkan pendapat masyarakat desanya.

Masih banyak cara lainnya bagaimana mengelola mengelola uang pemudik untuk  membangun desanya, sepanjang ada kemauan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media. Yang diperlukan kemauan yang didasari niat tulus, tanpa pamrih. (Azisoko)

Tags:
mudik lebaran aktivitas tahunantradisi dan budayalibur nasionalIdul Fitri pulang kampungmudik

Tim Poskota

Reporter

Ade Mamad

Editor