POSKOTA.CO.ID - Di usia yang bahkan belum menyentuh dua dekade, seorang pemuda bernama Mohammad Toha memilih jalan hidup yang kelak menggetarkan sejarah bangsa.
Ia bukan sekadar pejuang biasa, tetapi komandan pemberani dari Barisan Rakyat Indonesia (BRI), pasukan milisi yang beraksi tanpa kenal takut dalam gemuruh Perang Kemerdekaan Indonesia.
Namanya terukir abadi dalam babak paling dramatis perjuangan: Bandung Lautan Api. Di sanalah ia mengukir akhir hidupnya, meledakkan gudang amunisi Sekutu hingga dirinya sendiri hancur bersama ledakan itu.
Baca Juga: Bandung Lautan Api: Kisah Pengorbanan Demi Kemerdekaan 79 Tahun Lalu
Usianya? Baru 19 tahun. Tetapi semangatnya, membakar satu kota penuh.
Masa Kecil yang Penuh Luka
Mohammad Toha lahir pada tahun 1927 di Desa Suniaraja, Bandung. Ayahnya, Suganda, meninggal dunia ketika Toha baru berusia dua tahun.
Kehilangan itu membawanya ke dalam asuhan sang kakek-nenek, Jahiri dan Oneng, setelah ibunya menikah kembali dan akhirnya bercerai.
Masa kecilnya diwarnai luka dan kesepian, namun siapa sangka dari sana lahir seorang patriot dengan hati baja.
Ditempa di Sekolah Rakyat, Dilatih di Barisan Pemuda Jepang
Pada usia tujuh tahun, Toha mulai menempuh pendidikan di Volk School. Namun, dunia militer lebih cepat memanggilnya.
Masa pendudukan Jepang membawanya masuk ke barisan Seinendan, kelompok pemuda yang digembleng untuk disiplin dan siap tempur. Dari sana, langkahnya tak pernah mundur.
Ketika Indonesia merdeka, Toha bergabung dengan Barisan Rakyat Indonesia (BRI), dipimpin oleh Ben Alamsyah.
Tak lama, BRI bergabung dengan Barisan Pelopor di bawah komando Anwar Sutan Pamuncak, membentuk Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Toha? Ia dipercaya menjadi Komandan Seksi I Bagian Penggempur.
Bandung Membara, Jiwa Toha Terbakar!
23 Maret 1946. Bandung berubah menjadi lautan api. Sekutu yang dipimpin oleh tentara Inggris dan Belanda memaksa para pejuang Indonesia dan rakyat sipil untuk angkat kaki dari kota tercinta.
Namun mereka menolak tunduk. Ultimatum dibalas dengan perlawanan. Kota dibakar agar tak sejengkal pun tanah jatuh ke tangan musuh.
Di tengah kekacauan, Mohammad Toha menyusun rencana nekat: menghancurkan gudang mesiu Sekutu di Dayeuhkolot, titik vital pertahanan lawan.
Atasannya sempat melarang. Namun Toha sudah bulat tekadnya: lebih baik mati meledakkan gudang itu daripada hidup dalam penjajahan!
Misi Terakhir: Meledakkan Gudang Amunisi Musuh!
Ditemani sahabat seperjuangan, Mohammad Ramdan, Toha menyelinap menuju gudang mesiu. Di tengah gelap dan dentuman peluru, mereka melancarkan serangan maut.
Saat ranjau meledak, disusul suara tembak-menembak yang memekakkan telinga, Toha sudah terluka parah. Namun ia tak mundur. Dengan sisa tenaganya, ia meledakkan diri bersama gudang tersebut.
Ledakan itu mengguncang bumi Dayeuhkolot. Gudang amunisi Sekutu luluh lantak. Toha dan Ramdan gugur seketika. Namun pengorbanan mereka mengukir kemenangan moral yang membakar semangat bangsa.
Warisan Seorang Pahlawan
Kini, Mohammad Toha dikenal sebagai martir muda Bandung Lautan Api, simbol keberanian tanpa batas dan pengorbanan tertinggi bagi tanah air. Ia mungkin gugur di usia 19 tahun, tapi keberaniannya abadi dalam setiap nyala api perjuangan bangsa Indonesia.