Hal ini karena transaksi tersebut termasuk dalam kategori ijarah, yang merupakan suatu bentuk jual beli di mana yang diperdagangkan adalah jasa, bukan barang.
Dalam kitab Fathul Mujibil Qarib karya Kiai Afifuddin Muhajir, dijelaskan bahwa ijarah tidak termasuk dalam kategori riba.
Menurut ulama dari madzhab Syafii, Hanafi, dan pendapat dalam madzhab Hanbali, hukumnya diperbolehkan untuk menukar uang Lebaran, asal transaksi dilakukannya kontan dan bukan utang.
Baca Juga: Jadwal dan Cara Tukar Uang Baru di Bank Mandiri, BRI, serta BCA untuk Lebaran 2025
Perbedaan Pendapat Para Ulama
Terdapat perbedaan pandangan terkait hukum tukar uang Lebaran. Ini muncul dari cara pemahaman yang berbeda mengenai akad penukaran uang itu sendiri.
Sebab, ada sebagian orang yang memandang uang sebagai barang yang diperdagangkan. Dan yang lain lebih mempertimbangkan jasa dari pihak yang melakukan penukaran uang.
Namun, pada hakikatnya, sifat uang atau barang lainnya juga dapat mengikuti ketentuan akad. Hal ini seperti dijelaskan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain.
"Barang terkadang mengikut sebagaimana jika seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Al-Quran.
Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang perempuan yang meletakkannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan.
Titik akadnya (ma'qud 'alaih) terletak pada aktivitas si perempuan. Sementara asi menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan."
Jadi jika ada nilai lebih yang perlu dibayar oleh penukar uang ke penyedia jasa, hal itu dimaksudkan sebagai upah atas jasanya.
Dan tarif jasa ini diperbolehkan dengan syarat dimaksudkan untuk membayar jasa penukaran uang tersebut dan bukan pada uangnya (barang yang dipertukarkan).