POSKOTA.CO.ID - Puasa di bulan Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan haus. Kewajiban ini juga mengharuskan umat Islam untuk menahan hawa nafsu dari segala hal yang bisa membatalkan maupun mengurangi pahala puasa.
Salah satu pelanggaran berat yang wajib dihindari adalah melakukan hubungan suami istri (jima’) di siang hari ketika sedang berpuasa. Tindakan ini tidak hanya membatalkan puasa, tetapi juga mewajibkan pelaku untuk membayar kafarah sebagai bentuk tebusan dosa.
Baca Juga: 3 Ide Kegiatan Ngabuburit Menunggu Waktu Berbuka Selama Bulan Ramadhan Bersama Anak
Habib Muhammad Muthohar seperti dikutip dari Channel YouTube NU Online dengan tegas mengingatkan bahwa perbuatan ini adalah pelanggaran besar yang tidak boleh dianggap remeh.
Menurut beliau, seseorang yang menggauli istrinya di siang hari Ramadhan dengan sadar dan tanpa paksaan, selain membatalkan puasanya, juga terkena kewajiban kafarah yang berat.
Larangan Jima’ di Siang Hari Ramadhan Menurut Al-Qur'an
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan waktu-waktu yang diperbolehkan bagi pasangan suami istri untuk melakukan hubungan intim selama bulan Ramadhan. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an:
"Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kalian; mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka."
(QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa hubungan suami istri hanya diperbolehkan setelah berbuka puasa hingga menjelang waktu Subuh. Namun, apabila jima’ dilakukan setelah terbit fajar hingga matahari terbenam, maka hal itu menjadi pelanggaran yang berat.
Selain membatalkan puasa, pelaku wajib menebus dosanya dengan kafarah yang sudah diatur oleh syariat Islam.
Baca Juga: Jadwal Lailatul Qadar 2025 Dimulai Kapan? Simak 10 Malam Terakhir Ramadhan
Kisah Seorang Sahabat yang Melanggar Puasa di Siang Hari Ramadhan
Penjelasan tentang kafarah ini juga didasarkan pada kisah nyata seorang sahabat di zaman Rasulullah ﷺ. Dikisahkan dalam sebuah hadis shahih, seorang sahabat datang kepada Nabi Muhammad ﷺ karena telah melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
"Ketika kami sedang duduk bersama Nabi ﷺ, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berkata, 'Wahai Rasulullah, aku telah binasa!' Rasulullah bertanya, 'Apa yang membuatmu binasa?' Dia menjawab, 'Aku menggauli istriku di siang hari bulan Ramadhan.' Rasulullah bersabda, 'Apakah engkau memiliki budak yang bisa engkau merdekakan?' Dia menjawab, 'Tidak.' Nabi bertanya lagi, 'Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?' Dia menjawab, 'Tidak.' Rasulullah bertanya, 'Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?' Dia menjawab, 'Tidak.'" (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).
Hadis ini menjadi dasar utama kewajiban kafarah bagi siapa pun yang melakukan hubungan badan di siang hari bulan Ramadhan.
Siapa yang Wajib Membayar Kafarah?
Menurut penjelasan Habib Muhammad Muthohar, kewajiban kafarah atas pelanggaran jima’ ini hanya diwajibkan kepada pihak laki-laki.
Adapun istri yang digauli tidak dibebani kafarah, kecuali jika ia melakukannya dengan sengaja, tanpa paksaan, dan dengan pemahaman hukum yang benar. Meskipun begitu, puasa istri tetap batal dan wajib diganti (qadha).
Beliau juga menegaskan bahwa kewajiban kafarah ini hanya berlaku di bulan Ramadhan. Jika seseorang melakukan jima’ di luar bulan Ramadhan, misalnya saat mengqadha puasa Ramadhan, maka tidak ada kewajiban kafarah, melainkan cukup mengganti puasanya (qadha) saja.
Urutan Pembayaran Kafarah yang Harus Dipenuhi
Dalam ceramahnya, Habib Muhammad Muthohar memaparkan bahwa kafarah tidak bisa dipilih secara sembarangan, tetapi harus dijalankan secara berurutan (tertib). Berikut ini tata cara pembayaran kafarah sesuai syariat Islam:
Memerdekakan Seorang Budak
Pilihan pertama adalah membebaskan seorang budak yang sehat dan bebas dari cacat. Namun, karena di zaman sekarang hampir tidak ada perbudakan, maka opsi ini sangat sulit dilaksanakan.
Berpuasa Dua Bulan Berturut-turut
Jika tidak mampu memerdekakan budak, maka pilihan berikutnya adalah berpuasa selama dua bulan penuh secara berturut-turut (60 hari). Jika di tengah jalan puasanya terputus tanpa uzur syar'i, maka hitungan puasanya harus diulang dari awal.
Memberi Makan 60 Orang Miskin
Jika pelaku tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut karena alasan kesehatan atau faktor lainnya, maka ia wajib memberikan makan kepada 60 orang miskin.
Setiap orang miskin diberi makanan pokok sebanyak satu mud, setara dengan kurang lebih 0,6 hingga 0,7 kilogram beras atau makanan pokok lain sesuai kebiasaan masyarakat setempat.
Baca Juga: Cara Membaca Niat Puasa Ramadhan, Apakah Bisa Dibacakan untuk Satu Bulan Penuh?
Hikmah dan Tujuan Ditetapkannya Kafarah
Kafarah ditetapkan oleh syariat Islam bukan semata-mata sebagai hukuman, tetapi juga sebagai bentuk edukasi dan proses taubat seorang hamba kepada Allah SWT.
Habib Muhammad Muthohar menjelaskan bahwa dengan membayar kafarah di dunia, pelaku diharapkan mendapatkan ampunan dan terhindar dari azab di akhirat.
"Dengan membayar kafarah di dunia, insyaAllah pelakunya tidak akan diazab di akhirat, karena itu bagian dari taubatnya," jelas beliau.
Dalam kitab Al-Mu'jam juga disebutkan bahwa kafarah adalah bentuk pertobatan nyata atas dosa besar karena melanggar perintah Allah di bulan suci Ramadhan. Selain itu, ia juga menjadi pelajaran bagi masyarakat agar lebih menjaga kesucian dan kehormatan puasa.
Baca Juga: Isi 10 Hari Terakhir Ramadhan dengan Amalan yang Membawa Pahala Berlipat!
Menjaga Kesucian Ibadah Puasa Ramadhan
Puasa di bulan Ramadhan adalah ibadah yang agung. Oleh karena itu, umat Islam harus menjaga dirinya dari berbagai hal yang bisa membatalkan atau mengurangi pahala puasa.
Habib Muhammad Muthohar mengingatkan bahwa berhubungan intim di siang hari Ramadhan adalah perbuatan yang sangat dilarang. Jika seseorang melakukan pelanggaran tersebut, ia wajib segera bertaubat, mengqadha puasanya, dan membayar kafarah sesuai tuntunan syariat.
Semoga penjelasan ini menjadi pengingat bagi kita semua agar lebih berhati-hati dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, serta menjauhi segala bentuk perbuatan yang dapat merusak nilai ibadah tersebut.