Masjid Jami Al-Atiq, Tempat Sembunyi Si Pitung dari Kejaran Meester Cornelis

Selasa 18 Mar 2025, 11:20 WIB
Masjid Jami Al-Atiq di Kampung Melayu Besar. (Sumber: gmaps)

Masjid Jami Al-Atiq di Kampung Melayu Besar. (Sumber: gmaps)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Masjid Jami Al-Atiq, yang berlokasi di Jalan Masjid I, Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan, merupakan peninggalan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten pertama.

Maulana Hasanuddin sendiri adalah putra dari Syarif Hidayatullah dan Ratu Kaurig Anten. Masjid ini menjadi saksi sejarah peradaban Islam di Nusantara, dengan arsitektur khas yang menyerupai masjid-masjid bersejarah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Masjid Jami Al-Atiq berdiri sejak abad ke-16. Pada tahun ini, atap masjid berbentuk susun dengan lambang panah sebagai simbol sejarah, dan tidak menggunakan genteng tanah liat, melainkan kayu sirap.

Gaya arsitektur masjid ini mengingatkan pada Masjid Demak, Masjid Sunan Giri, dan Masjid Gresik kala itu.

Baca Juga: Amankah Bawa Bayi Baru Lahir saat Mudik Lebaran? Begini Penjelasan Dokter Spesialis Anak

Pada 1619, ketika VOC berkuasa, kondisi Masjid Al-Atiq memprihatinkan, sebagaimana penjelasan di laman Islamic Center. Lalu sempat diperbaiki oleh para pengikut Pangeran Jayakarta.

Proses perbaikan tersebut bermula ketika mereka sedang menjelajahi Batavia melalui Sungai Ciliwung dengan perahu. Kemudian salah satu rombongan secara kebetulan melihat sebuah bangunan masjid yang tidak terpelihara, bahkan nyaris roboh.

Mereka pun memutuskan untuk menetap di wilayah itu, sekaligus memperbaiki bangunan masjid yang telah ada sebelumnya.

Pendirian Masjid Al-Atiq diyakini bertepatan dengan pendirian masjid di Banten dan Karang Ampel, Jawa Tengah.

Baca Juga: Perbedaan Parcel dan Hampers, Bingkisan Khas Lebaran yang Sudah Jadi Tradisi

Masjid ini disebut-sebut sebagai cabang masjid yang didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin, meskipun penyelesaiannya dilakukan paling akhir.

Masjid Al-Atiq juga menyimpan kisah perjuangan rakyat Betawi. Konon, masjid ini pernah menjadi tempat persembunyian Si Pitung dan Ji’ih, dua jawara Betawi yang dikenal membela rakyat kecil dan menentang kolonial Belanda.

Pada 1890-an, setelah melarikan diri dari penjara Meester Cornelis (sekarang Jatinegara), mereka disembunyikan di masjid ini selama berbulan-bulan atas perintah seorang mualim setempat.

Masjid ini juga memiliki benda pusaka berupa tongkat kayu jati yang berada di dekat mimbar, yang biasa digunakan khatib saat khotbah Jumat. Tongkat ini dipercaya memiliki keunikan dan cerita mistis tersendiri.

Dikisahkan, suatu hari seorang wanita tua datang ke masjid dan berusaha mengerik kulit kayu tongkat tersebut. Ketika ditanya oleh pengurus masjid, ia mengaku sedang mencari serbuk kayu tongkat tersebut untuk mengobati suaminya yang sakit keras.

Wanita itu mengaku telah berusaha mencari pengobatan hingga ke India, namun tak kunjung berhasil. Seorang tabib akhirnya menyarankan agar ia mencari masjid tertua di Jakarta dan mengambil serbuk kayu dari tongkat khatib. Setelah mengikuti saran tersebut, suaminya dikabarkan berangsur sembuh.

Masjid Al-Atiq juga pernah mengalami musibah besar. Pada tahun 1996, Jakarta dilanda hujan deras yang menyebabkan masjid ini terendam banjir hingga lebih dari dua meter. Akibatnya, bangunan masjid mengalami kerusakan, dan seluruh dokumentasi sejarah yang tersimpan di dalamnya lenyap terbawa arus banjir.

Lokasi masjid yang hanya berjarak tiga meter dari tepi Kali Ciliwung menjadikannya rawan banjir. Namun sejatinya Masjid Al-Atiq bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga saksi perjalanan panjang sejarah Islam di Jakarta, dan tak terpisahkan dari identitas budaya Betawi.

Berita Terkait

News Update