POSKOTA.CO.ID -Dalam beberapa tahun terakhir, wacana mengenai perluasan peran militer di luar sektor pertahanan kembali mencuat.
Salah satu argumen utama yang sering dikemukakan adalah bahwa sumber daya manusia (SDM) berkualitas dari militer dapat dimanfaatkan untuk membantu berbagai kementerian dan lembaga sipil.
Pada Maret 2025, Panitia Kerja (Panja) RUU TNI mengadakan pertemuan di sebuah hotel di Jakarta untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan untuk menambah jumlah kementerian atau lembaga (K/L) yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, dari 15 menjadi 16.
Penambahan ini mencakup Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kejaksaan Agung, dan Badan Pengelola Perbatasan.
Dilansir dari Platform X oleh akun @Evening_eve ia mencurahkan bahwa ketidak logisan soal RUU TNI yang sedang ramai dibicarakan.
"Logikanya kaya dipaksain. Katanya bukan dwi fungsi karena ga terlibat politik praktis, tapi kan tetep aja memperlebar peran TNI di luar sektor pertahanan? The logic ain't logicing"
Namun, di balik gagasan ini, muncul pertanyaan kritis: Apakah ini bukan bentuk baru dari konsep Dwi Fungsi yang selama ini dikritik? Bukankah peran militer seharusnya tetap dalam koridor pertahanan negara?
Baca Juga: Siapa Karina Ranau? Istri Epy Kusnandar yang Dituding Jualan Takjil Pakai Penglaris
Apa Itu Dwi Fungsi Militer?
Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang berlaku di era Orde Baru, memungkinkan militer memiliki peran ganda: sebagai kekuatan pertahanan dan aktor dalam kehidupan sipil, termasuk politik dan pemerintahan.
Reformasi 1998 menandai upaya untuk membatasi peran militer agar fokus pada pertahanan, mengurangi keterlibatannya dalam urusan sipil.
Namun, konsep dwi fungsi tidak hanya terbatas pada politik praktis. Sepanjang militer memiliki peran di luar tugas pertahanan, baik itu dalam aspek pemerintahan, hukum, atau kebijakan sipil, tetap ada tumpang tindih kewenangan dengan institusi lain.
Kontroversi Revisi UU TNI
Revisi UU TNI yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi militer.
Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa kebijakan ini melanggar prinsip profesionalisme militer dan berpotensi menciptakan loyalitas ganda.
Mereka menekankan bahwa militer seharusnya tidak terlibat dalam politik atau pemerintahan sipil karena tugas utama mereka adalah pertahanan negara.
Memperlebar Peran Militer di Ranah Sipil: Solusi atau Masalah?
Akun @Evening_Eve tersebut menjelaskan Salah satu justifikasi utama dari perluasan peran militer di ranah sipil adalah untuk meringankan beban sumber daya manusia di kementerian dan lembaga negara.
"Koreksi kalo aku salah. Mungkin di sini ada yg lebih paham. Tapi dwi fungsi militer itu ga sebatas terlibat dalam politik praktis ga, sih? Sepemahamanku, dwi fungsi militer itu pada dasarnya memiliki peran ganda: sebagai aktor pertahanan dan aktor dalam kehidupan sipil" ujarnya
Namun, jika memang kebutuhan SDM menjadi permasalahan, bukankah rekrutmen CPNS dan reformasi birokrasi menjadi solusi yang lebih masuk akal ketimbang menarik personel militer?
Berikut beberapa dampak yang mungkin terjadi jika militer diberikan peran lebih luas di ranah sipil:
- Tumpang Tindih Kewenangan
- Kewenangan antara militer dan institusi sipil menjadi kabur.
- Polisi sebagai aparat keamanan dalam negeri bisa kehilangan fungsi utamanya jika tugas mereka juga diambil alih oleh militer.
- Kemunduran Reformasi TNI
- Reformasi pasca-1998 bertujuan untuk memastikan militer tidak lagi terlibat dalam urusan sipil.
- Perluasan peran ini bisa dianggap sebagai bentuk lain dari kembalinya dwi fungsi dengan kemasan baru.
- Kurangnya Akuntabilitas
- Militer memiliki sistem hukum sendiri (peradilan militer), berbeda dengan aparatur sipil negara.
- Jika terjadi penyimpangan, proses penegakan hukum bisa menjadi lebih sulit.
Kelemahan Landasan Filosofis dan Yuridis
Selain dampak praktis, kebijakan ini juga dipertanyakan dari segi landasan filosofis dan yuridisnya. Sebuah kebijakan idealnya didasarkan pada kajian akademik yang kuat.
namun dokumen akademik yang mengiringi kebijakan ini terkesan kurang berbasis data dan fakta, lebih seperti asumsi belaka bahwa militer perlu turun tangan di sektor sipil.
Jika memang ada urgensi, mengapa tidak dilakukan kajian mendalam terlebih dahulu?
Apakah SDM Militer Lebih Berkualitas?
Salah satu argumen yang sering muncul adalah bahwa personel militer memiliki kedisiplinan dan etos kerja tinggi, sehingga dianggap mampu berkontribusi lebih baik dalam birokrasi.
Namun, kemampuan teknis dan administratif tentu berbeda dengan kemampuan tempur dan taktis. Seorang tentara yang terlatih dalam strategi perang belum tentu memiliki keahlian dalam administrasi hukum, ekonomi, atau sektor lain yang menjadi ranah sipil.
Selain itu, jika memang kualitas SDM militer lebih baik, mengapa mereka tidak difokuskan untuk meningkatkan pertahanan negara saja? Kenapa harus masuk ke institusi seperti Mahkamah Agung atau Kejaksaan Agung yang jelas memiliki mekanisme rekrutmen tersendiri?
Baca Juga: Revisi RUU TNI Tuai Kritik: Berikut Isi Pasal yang Menjadi Kontroversi, Simak Penjelasan Lengkapnya
Perlukah Militer Berperan di Ranah Sipil?
Pada akhirnya, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah: Apakah ini benar-benar demi kepentingan negara, atau hanya cara lain untuk memperluas pengaruh militer?
Jika tujuan utamanya adalah memperkuat birokrasi sipil, maka cara yang lebih logis adalah memperbaiki sistem rekrutmen, pelatihan, dan manajemen SDM sipil, bukan dengan melibatkan militer dalam urusan yang bukan ranahnya.
Peran militer harus tetap berada di sektor pertahanan dan keamanan negara. Memperluas kewenangan mereka ke ranah sipil bukan hanya berisiko menciptakan tumpang tindih kewenangan, tetapi juga mengancam prinsip demokrasi dan reformasi yang telah diperjuangkan sejak era Reformasi.