POSKOTA.CO.ID - Publik kembali dihebohkan dengan revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang rencananya akan disahkan pada bulan Ramadan 2025.
Revisi ini menimbulkan pro dan kontra, terutama karena adanya beberapa pasal yang dianggap kontroversial.
Isu Sentral dalam Revisi UU TNI
Beberapa poin utama dalam revisi UU TNI yang menjadi sorotan publik meliputi:
1. Prajurit Aktif Bisa Menduduki Jabatan Sipil
Salah satu perubahan yang paling disoroti adalah usulan agar prajurit aktif TNI dapat menduduki jabatan sipil di kementerian atau lembaga pemerintah lainnya.
Baca Juga: Berburu Klaim Saldo DANA Gratis Hari Ini, Bisa Dapat Cuan Rp50.000
Banyak pihak khawatir bahwa aturan ini dapat menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang pernah berlaku di era Orde Baru.
Di masa lalu, dwifungsi ABRI memberikan peran ganda bagi militer, baik dalam pertahanan maupun pemerintahan sipil. Hal ini berpotensi mengurangi independensi sektor sipil dalam tata kelola negara.
2. Usia Pensiun Prajurit Diperpanjang
Revisi UU TNI juga mengusulkan perpanjangan batas usia pensiun bagi prajurit aktif, khususnya di jabatan fungsional, hingga 65 tahun.
Kebijakan ini menuai kritik karena dikhawatirkan akan menghambat regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI. Dengan bertambahnya jumlah perwira yang tetap bertugas lebih lama, rotasi jabatan dan promosi bisa menjadi lebih sulit bagi prajurit yang lebih muda.
Pasal-Pasal yang Menjadi Kontroversi
Berikut beberapa pasal dalam revisi UU TNI yang menuai perdebatan:
Pasal 39: Aturan Disiplin Prajurit
Pasal ini membahas tentang kedisiplinan prajurit di lingkungan militer. Meskipun tidak sebesar kontroversi Pasal 65 dan Pasal 74, aturan dalam pasal ini tetap menarik perhatian karena berpotensi mengubah sistem kedisiplinan yang berlaku selama ini.
Pasal 65: Dualisme Peradilan Militer dan Umum
Pasal 65 dalam UU No. 34 Tahun 2004 menyatakan bahwa prajurit TNI yang melakukan tindak pidana militer akan diadili di peradilan militer, sementara untuk tindak pidana umum mereka tunduk pada peradilan umum.
Namun, aturan ini menjadi perdebatan karena dinilai menciptakan sistem peradilan ganda. Banyak pihak menganggap bahwa prajurit TNI seharusnya tetap diadili di peradilan umum untuk tindak pidana yang bukan bagian dari tugas militer.
Pasal 74: Ketentuan Peralihan
Pasal 74 menyebutkan bahwa aturan dalam Pasal 65 hanya berlaku setelah undang-undang peradilan militer yang baru disahkan.
Sebelum itu, prajurit TNI masih tunduk pada UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Para pengamat menilai hal ini dapat memperpanjang transisi yang tidak perlu dan menghambat reformasi sistem hukum militer.
Baca Juga: Kenang Mendiang Kim Sae Ron, Drakor “Everyday We Are” Segera Tayang
Dampak Revisi UU TNI terhadap Demokrasi
Banyak pengamat menilai bahwa beberapa pasal dalam revisi UU TNI ini berpotensi membawa Indonesia kembali ke era militerisme yang pernah terjadi di masa lalu.
Dalam sistem demokrasi, militer seharusnya tunduk pada kendali sipil. Jika prajurit aktif diizinkan menduduki jabatan sipil dan peradilan militer tetap dominan, maka bisa terjadi ketimpangan dalam mekanisme checks and balances.
Masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia pun mendesak agar revisi UU TNI ini dikaji ulang secara mendalam.
Reformasi sektor keamanan yang telah dilakukan selama dua dekade terakhir dianggap bisa terancam jika revisi ini disahkan tanpa pertimbangan matang.
Revisi UU TNI 2025 menjadi perdebatan besar karena melibatkan isu-isu sensitif seperti dwifungsi militer, batas usia pensiun, dan sistem peradilan ganda.
Pemerintah perlu memastikan bahwa perubahan yang dilakukan tetap sejalan dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Jika tidak, revisi ini justru bisa menjadi langkah mundur bagi reformasi TNI yang telah berlangsung sejak era Reformasi.
Dengan artikel ini, pembaca dapat memahami lebih dalam mengenai revisi UU TNI dan dampaknya terhadap sistem demokrasi di Indonesia.