POSKOTA.CO.ID – Komisi I DPR RI menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tidak akan mengembalikan peran ganda militer dalam pemerintahan, seperti yang terjadi pada era Dwifungsi ABRI di masa Orde Baru.
Dalam hal ini, Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto menyinggung prisip supremasi sipil yang diangkat oleh Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto.
"Prinsip besarnya, tadi (rapat Panja) Panglima TNI menjamin bahwa Supremasi Sipil tetap harus diutamakan di dalam negara demokrasi," ujarnya, Sabtu, 15 Maret 2025.
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan dwifungsi TNI? Apakah ia merupakan sesuatu yang baru di Indonesia? Dan kenapa ia menjadi penting?
Baca Juga: Revisi RUU TNI Tuai Kritik: Berikut Isi Pasal yang Menjadi Kontroversi, Simak Penjelasan Lengkapnya
Konsep Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) merupakan konsep yang mengacu pada peran ganda militer dalam konteks pertahanan dan keamanan serta dalam ranah sosial-politik.
Konsep ini telah menjadi topik yang sengit dalam sejarah Indonesia, terutama selama era Orde Baru.
Melansir penelitian Andreas Lantik (2014), dalam penelitiannya berjudul "Dwifungsi ABRI: Legalisasi Kekuasaan Golongan Militer dalam Pemerintahan Orde Baru", Dwifungsi ABRI pertama kali diperkenalkan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada 1958.
Konsep ini menekankan bahwa ABRI tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik yang berperan dalam pembangunan masyarakat.
Hal ini menjadi legitimasi bagi militer untuk terlibat dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan politik.
"Dominasi golongan militer yang dimotori oleh Angkatan Darat atas kehidupan politik akhirnya mendapat pembenaran ketika muncul Dwifungsi ABRI yang dikatakan mampu 'mengatur' secara jelas fungsi-fungsi ABRI dalam bidang Hankam maupun politik," tulis Andrea Lantik.
Dampak Peran Dwifungsi ABRI
Dalam penelitiannya lebih lanjut, Andreas Lantik menyebut bahwa konsep dan penerapan Dwifungsi ABRI membawa permasalahan pada zaman Orde Baru, salah satunya keterlibatan militer dalam ekonomi.
"Dukungan keterlibatan kalangan militer dalam kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru yang didasarkan kepada simbiosis yang bersifat mutualisme di antara Suharto dan Angkatan Darat membawa dampak yang buruk bagi negara dan memberikan kesempatan bagi perwira-perwira militer untuk mengumpulkan kekayaan pribadi," tulis Andreas.
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, kebijakan dwifungsi ABRI mulai dihapuskan.
Penghapusan ini didorong oleh kebutuhan untuk memperkuat demokrasi dan mengurangi pengaruh militer dalam politik.
Pada 2000, dalam rapat pimpinan ABRI, disepakati untuk menghapus dwifungsi ini, yang kemudian diimplementasikan secara bertahap hingga pemilu 2004.