POSKOTA.CO.ID - Rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan masyarakat sipil. Bahkan salahsatunya dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang jug angkat bicara mengenai wacan ini.
Salah satu poin kontroversial dalam revisi tersebut adalah wacana pemberian peluang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki lima jabatan strategis di lembaga sipil tanpa perlu mengundurkan diri atau pensiun. Dua di antaranya adalah posisi di Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Ketua PBNU, H. Mohamad Syafi' Alielha atau yang akrab disapa Savic Ali, mengungkapkan keprihatinannya atas proses pembahasan revisi UU yang dinilai tidak transparan. Ia menyoroti pertemuan pembahasan yang digelar secara tertutup di salahsatu hotel di Jakarta pada Sabtu, 15 Maret 2025.
“Sulit diterima akal sehat jika prajurit aktif TNI diproyeksikan untuk mengisi posisi di Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. Kedua institusi ini memerlukan keahlian dan kompetensi hukum yang sangat spesifik, sementara pendidikan militer TNI tidak dirancang untuk itu,” ujar Savic.
Savic menyampaikan bahwa jika revisi ini tetap dilanjutkan tanpa kajian matang, maka akan terjadi kemunduran dalam prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Ia mengingatkan, semangat reformasi 1998 yang bertujuan membangun pemerintahan sipil yang demokratis dan bebas dari intervensi militer, justru terancam tergerus.
“Ini adalah langkah mundur bagi prinsip good governance dan bertentangan dengan semangat reformasi yang telah diperjuangkan sejak 1998,” tegasnya.
Baca Juga: Rapat RUU TNI di Hotel Mewah, Warga Sipil: Hallo Efisiensi?
Di sisi lain, Savic masih bisa memahami keterlibatan prajurit TNI dalam jabatan sipil yang berkaitan langsung dengan penanganan darurat dan kemanusiaan, seperti di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Menurutnya, keterlibatan militer dalam dua lembaga tersebut masih memiliki justifikasi yang rasional.
Senada dengan Savic, Direktur Wahid Foundation, Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid, turut mengingatkan pentingnya menjaga konsistensi peran TNI di ranah pertahanan negara dan tidak terjebak dalam dinamika politik atau jabatan sipil.
“Selama ini, masyarakat mengapresiasi komitmen TNI yang tetap fokus pada tugas pertahanan dan menjauh dari ruang-ruang politik praktis. Kita berharap komitmen ini terus dipertahankan,” kata Yenny di Kantor Wahid Foundation, Menteng, Jakarta Pusat pada Jumat, 14 Maret 2025.
Yenny juga menekankan bahwa jika seorang prajurit TNI ingin menempati jabatan sipil, maka seharusnya mereka bersedia melepaskan status militer aktifnya terlebih dahulu. Ia mempertanyakan adanya standar ganda dalam penerapan aturan tersebut.
“Masyarakat sipil berhak meminta penjelasan terkait ketentuan ini. Harus jelas, mana jabatan yang mewajibkan prajurit TNI untuk mundur dari dinas aktif dan mana yang tidak. Kalau tidak diatur dengan tegas, ini bisa menimbulkan kerancuan dalam tatanan demokrasi kita,” tegasnya.
Revisi UU TNI ini masih dalam tahap pembahasan, namun sejumlah pihak menilai prosesnya terlalu terburu-buru dan minim pelibatan publik. Masyarakat pun didorong untuk lebih aktif mengawal isu ini demi memastikan nilai-nilai reformasi dan demokrasi tetap terjaga.