“Senantiasa menggulirkan kebijakan pro rakyat. Kebijakan yang berujung kepada pemanfaatan hasil oleh sekelompok orang , jelas tak sesuai dengan cita-cita. Kebijakan yang membuat sebagian kelompok orang terpinggirkan tak sejalan dengan amanat negeri..”
-Harmoko-
Era berubah, situasi pun ikut berubah mengikuti perputaran waktu yang terus melaju. Begitupun tantangan yang harus dihadapi dalam membangun bangsa, terasa kian beragam, kompleks, rumit dan sulit.
Menghadapi tantangan kian beragam di tengah perkembangan ekonomi global dan dinamika geopolitik, semakin dibutuhkan kebersamaan dan selarasnya kebijakan secara menyeluruh dari pusat hingga daerah.
Perlu menyamakan visi dan menyatukan program pembangunan di segala lini dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana cita-cita negeri kita ini sejak didirikan.
Perlu seiring sejalan dalam merangkai program hingga pelaksanaan di lapangan. Tak cukup pada tataran solidnya koordinasi dan kolaborasi di tingkat atas, namun jauh dari realitas.
Yang hendak kami sampaikan, kerja sama dalam membangun Indonesia tak cukup terbungkus dari solidnya koordinasi antar-kepala daerah, tetapi minim realisasi program kerja bersama. Bersama untuk Indonesia, bukan bersama untuk kepentingan dirinya.
Untuk menuju ke sana semakin dibutuhkan upaya lebih memperkuat pemimpin berkarakter, selain pemimpin berkepribadian di semua level dan tingkatan, baik di pusat maupun daerah.
Jika ditanyakan model mana yang dibutuhkan , pemimpin berkarakter atau pemimpin berkepribadian? Jawabnya keduanya sama-sama dibutuhkan, tetapi di era sekarang pemimpin berkarakter kuat kian dibutuhkan.
Karakter yang paling utama adalah integritas ( padunya ucapan dan perbuatan) sebagai sumber kepercayaan.
Mengingat esensi kepemimpinan adalah kepercayaan, maka pemimpin yang berkarakter akan diikuti bawahannya jika seorang kepala daerah , dapat menggerakkan tingkat partisipasi masyarakat, sehingga visi mudah tercapai.
Kepemimpinan berkarakter, menurut telaah para ahli, setidaknya mempunyai empat sifat utama, yakni jujur, visioner, dapat memberikan inspirasi dan cakap yang pada gilirannya akan membentuk kredibilitas. Sementara pemimpin yang kredibel akan dipercaya.
Jadi kembali ke soal kepercayaan, pemimpin disegani, dihormati dan diteladani serta diikuti karena adanya kepercayaan publik. Tanpa kepercayaan, pemimpin tetap ada, tapi seolah tak ada.
Rakyat kian percaya karena sang pemimpin memperlakukan orang lain atas dasar persamaan derajat serta memiliki rasa empati, utamanya kepada rakyat, terbuka dengan ide, opini dan saran orang lain.
Gaya kepemimpinan berbasis kearifan lokal saat pula dikembangkan untuk membangun daerahnya, menyatukan bumi pertiwi di atas segala perbedaan yang ada, sebagaimana karakter masing-masing daerahnya.
Sejarah bangsa Indonesia telah menyebutkan tak sedikit pemimpin terdahulu, sangat dicintai rakyat karena gaya kepemimpinan yang berbasis kearifan lokal sebagai jati diri bangsa.
Sebut saja, selama 16 tahun ( 1749-1757), Pangeran Samber Nyowo dengan nama kecil Raden Mas Said senantiasa berjuang bersama rakyat, mendapat dukungan penuh dari rakyat karena menerapkan asas kesamaan dan kebersamaan, tanpa membedakan perlakuan.
Keberpihakan kepada rakyat tak perlu diragukan lagi, sejak kecil sudah diperlihatkan secara nyata dengan anti politik devide et impera (politik pecah belah).
Salah satu ajaran fenomenal yang hingga kini masih tetap aktual adalah “mulat sarira hangrasani” – introspeksi diri dan berani bertindak.
Itulah gambaran pemimpin berkarakter yang hendaknya kian dikembangkan dan diterapkan dalam membangun daerahnya. Itulah pemimpin rakyat dan merakyat. Pemimpin yang dalam dirinya hanya berorientasi kepada kepentingan rakyat, bukan kepentingan pejabat, bukan pula para kerabat dekat.
Patut diingat para pemimpin, dipilih langsung oleh rakyat, mendapat mandat dari rakyat, dipercaya oleh rakyat. Karenanya setelah menjadi pemimpin hendaknya tetap kembali kepada rakyat, mengabdi kepada rakyat, melayani rakyat, bukan malah minta dilayani.
Kebijakan yang digulirkan harus sesuai dengan kehendak rakyat, sesuai kebutuhan rakyat saat ini dan masa mendatang. Sejalan dengan cita-cita bersama.
Kebijakan yang berujung kepada pemanfaatan hasil oleh sekelompok orang , jelas tak sesuai dengan cita-cita.
Kebijakan yang membuat sebagian kelompok orang terpinggirkan atau dirugikan, juga tak sejalan dengan amanat negeri, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Terlebih kebijakan yang hanya diciptakan untuk menguntungkan keluarganya, kelompoknya, dan relasinya, jelas bertentangan dengan tujuan nasional. (Azisoko).