Namun, ekspansi ini tidak diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas. Akibatnya, korupsi dan mismanajemen merajalela di tubuh Pertamina.
Krisis Keuangan Pertamina: Utang Membengkak hingga 10 Miliar USD
Bom waktu itu akhirnya meledak pada tahun 1975. Pertamina mengalami krisis keuangan parah setelah gagal membayar utang jatuh tempo sebesar 100 juta USD.
Setelah ditelusuri, ternyata utang Pertamina sudah membengkak hingga 10 miliar USD—angka yang bahkan melampaui APBN Indonesia saat itu.
Pemerintah pun turun tangan. Tim khusus dibentuk untuk bernegosiasi dengan para kreditur. Berkat upaya tersebut, utang Pertamina berhasil ditekan menjadi 6,2 miliar USD.
Selain itu, pemerintah juga menghentikan proyek-proyek ambisius Pertamina dan menjual sebagian asetnya untuk menutupi kerugian.
Ibnu Sutowo Dicopot, Tapi Tak Pernah Diproses Hukum
Pada tahun 1976, Ibnu Sutowo akhirnya dicopot dari posisinya sebagai direktur utama Pertamina. Namun, ia tidak pernah dibawa ke meja hijau.
Laporan Komisi IV, yang dibentuk khusus untuk menyelidiki dugaan korupsi di Pertamina sejak 1970, tidak mampu menyeretnya ke pengadilan. Mohammad Hatta, yang saat itu menjadi penasihat Komisi IV, bahkan enggan dimakamkan di TMP Kalibata karena ada pejabat Pertamina yang terlibat korupsi dimakamkan di sana.
Salah satu pejabat yang dimaksud adalah Ahmad Thahir, asisten Ibnu Sutowo di Pertamina. Thahir dimakamkan di TMP Kalibata karena memiliki gelar Bintang Gerilya.
Hal ini membuat Hoegeng, mantan Kapolri, dan Mochamad Jasin, mantan Wakil KSAD, juga menolak dimakamkan di TMP Kalibata. Hoegeng bahkan dengan tegas menyatakan, "Saya tidak mau sekuburan dengan koruptor."
Warisan Ibnu Sutowo: Bisnis Keluarga yang Tetap Eksis
Meski dicopot dari posisinya, Ibnu Sutowo tetap menjadi jenderal kesayangan Presiden Soeharto. Tali bisnis antara keluarga mereka terus terjalin hingga keduanya meninggal.
Nama Ibnu Sutowo pun tetap "bersih" dari tudingan korupsi. Kasusnya hanya dilabeli sebagai bentuk mismanajemen atau salah urus, bukan pelanggaran hukum.