“Dengan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis diharapkan ASN dapat lebih fokus menjalankan perannya sebagai ASN yang profesional. Memberikan pelayanan terbaiknya kepada publik, bebas dari intervensi politik dan bersih KKN,”
-Harmoko-
Netralitas dan keberpihakan, meski memiliki makna yang berbeda, tetapi keduanya saling terkait, terlebih jika dikaitkan dengan penyelenggaraan pemilu.
Faktanya, hasil evaluasi pilkada seperti disampaikan sejumlah pengamat menyebutkan netralitas dan keberpihakan merupakan dua dari sekian masalah yang selalu berulang setiap penyelenggaraan pemilu.
Tentu, tuntutan netralitas diarahkan kepada ASN, TNI dan Polri. Sedangkan keberpihakan lebih mengarah kepada mereka yang punya kuasa dan kewenangan seperti pejabat baik di pusat maupun daerah.
Soal netralitas acap dikupas, namun sepertinya tidak pernah tuntas. Boleh jadi netralitas hanya sebatas jargon, komitmen di atas kertas, tanpa atau minim realitas.
Dapat dipahami, netralitas menjadi kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit diwujudkan karena terbentang beragam rintangan. Sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) memiliki jalur birokrasi yang jelas dan tegas, termasuk tingkat kepatuhan terhadap atasannya, baik atasan langsung maupun atasan yang lebih tinggi lagi.
Dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilu adalah bebas dan rahasia. Namun, kepentingan profesi dan karirnya sebagai ASN menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan.
Menjadi masalah, jika menyebar pesan tersembunyi secara privat dari atasan untuk mendukung pasangan calon tertentu, dengan sejumlah alasan dan kompensasi.
Acap patuh kepada atasan menjadi dilema.Namun, pilihan yang membuat hati lebih tenang, terasa nyaman dan aman, akan menjadi pilihan, meski tak sesuai hati nurani.
Ini bukan rahasia lagi karena acap terjadi, termasuk dalam pilkada serentak tahun lalu yang dilakukan secara masif itulah yang kemudian dinilai terdapat kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) karena melibatkan ASN hingga kepala desa untuk memberikan dukungan.
Ini juga yang menjadi salah satu pertimbangan sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) dan mendiskualifikasi paslon di beberapa daerah pilkada.
Dalam kasus seperti ini dapat dimaknai adanya keberpihakan oknum pejabat atau penguasa di daerah mendukung paslon tertentu, menjadikan netralitas ASN tidak terjaga dengan baik.
Cukup beralasan netralitas ASN acap dikritisi dan diwanti-wanti, jika terdapat calon petahana atau pejabat teras daerah ikut berlaga dalam pilkada.
ASN menjadi rebutan karena berperan mendulang dukungan. ASN, apalagi di daerah tak hanya pegawai negeri, juga tokoh panutan, tokoh masyarakat.
Kalau setiap ASN dapat membawa minimal 5 suara, sudah dapat diprediksi berapa suara yang dapat diraih.
Ini sah-sah saja selama dukungan yang diberikan sesuai dengan suara hati nurani dan pilihan diri sendiri. Menjadi masalah begitu dukungan diberikan kepada seseorang atas dasar pemaksaan, tekanan dan ancaman karir masa depan, dan lain-lain.
Jika hal itu yang terjadi, maka yang didapat netralitas semu dan abu-abu karena tadi, ASN terikat dengan aturan main mengikuti perintah atasannya dalam menjalankan tugas dan kewajiban.
Karir adalah masa depan, dedikasi dan loyalitas institusi dan kepatuhan kepada atasannya, bagian dari upaya meniti karir.
Perlu dicarikan solusi mencegah hadirnya netralitas semu alias netralitas sebatas di atas kertas.
Cukup banyak perangkat hukum yang mengatur netralitas ASN. Sampai hal yang terkecil seperti larangan menghadiri deklarasi salah satu calon pun sudah diatur.
Surat edaran agar ASN netral berikut sanksinya, sudah banyak dikeluarkan sejumlah instansi. Namun, tetap saja soal netralitas ASN masih menjadi evaluasi setiap pemilu.
Jika demikian halnya, sudah saatnya mengaktualkan aturan main soal netralitas.
Pernah mencuat pendapat yang menyatakan netralitas ASN akan tercipta dengan sendirinya jika hak pilihnya dalam pilkada dan pilpres ditiadakan sebagaimana anggota TNI dan Polri.
Ini sejalan dengan larangan bagi ASN menjadi pengurus partai politik.
Dengan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis, diharapkan ASN dapat lebih fokus menjalankan perannya sebagai ASN yang profesional. Memberikan pelayanan terbaiknya kepada publik, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Ini patut menjadi renungan bersama, utamanya para wakil rakyat kita di Senayan, Jakarta yang sekarang sedang meminta masukan sejumlah pakar, kalangan akademisi untuk menata kembali sistem pemilu. (Azisoko).