POSKOTA.CO.ID - Korupsi seolah menjadi "olahraga" yang tak pernah lekang di Indonesia. Setiap tahun, kita disuguhkan dengan berita-berita baru tentang kasus korupsi yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Seolah tak ada habisnya, kasus-kasus ini terus bermunculan, menciptakan "klasemen" tersendiri yang memalukan.
Mari kita bahas lebih dalam tentang "Liga Korupsi Indonesia" dan bagaimana hal ini mencerminkan tantangan moral di sektor publik.
Klasemen Sementara Liga Korupsi Indonesia
Siapa sangka, korupsi di Indonesia bisa dibuat klasemen layaknya liga sepak bola? Dilansir dari akun X @Rudetiawants Berikut adalah daftar sementara "pemenang" korupsi di Indonesia:
- Korupsi PT Timah (Rp 300 Triliun)
Kasus ini masih menduduki puncak klasemen dengan nilai kerugian negara yang fantastis, mencapai Rp 300 triliun. PT Timah, perusahaan tambang milik negara, menjadi sorotan karena dugaan korupsi yang melibatkan pengelolaan sumber daya alam. - Korupsi Pertamina Patra Niaga (Rp 198 Triliun)
Masuk sebagai pendatang baru, kasus korupsi di Pertamina Patra Niaga langsung menempati posisi kedua. Kerugian negara yang mencapai Rp 198 triliun membuat kasus ini menjadi sorotan publik. - Kasus BLBI (Rp 138 Triliun)
Kasus lama yang tak kalah fenomenal, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), masih bertengger di posisi ketiga dengan kerugian negara sebesar Rp 138 triliun. - Penyerobotan Lahan PT Duta Palma Group (Rp 78 Triliun)
Kasus ini melibatkan praktik penyerobotan lahan yang merugikan negara hingga Rp 78 triliun. - Kasus PT TPPI (Rp 37,8 Triliun)
PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) menempati posisi kelima dengan kerugian negara sebesar Rp 37,8 triliun akibat korupsi.
Pertanyaannya, kasus apa lagi yang akan muncul dan menyerobot posisi-posisi di atas? Apakah kita akan melihat "pemain baru" di Liga Korupsi Indonesia 2025?
Mengapa Korupsi di BUMN Terus Terjadi?
Korupsi di BUMN seolah menjadi lingkaran setan yang tak berujung. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terus terjadi:
- Lemahnya Pengawasan
Sistem pengawasan internal di BUMN seringkali tidak berjalan efektif. Hal ini membuka celah bagi oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk melakukan korupsi. - Budaya Nepotisme
Praktik nepotisme masih marak di lingkungan BUMN. Orang-orang dengan koneksi tertentu seringkali ditempatkan di posisi strategis tanpa mempertimbangkan kompetensi. - Tidak Ada Sanksi yang Tegas
Meski kasus korupsi terus bermunculan, sanksi yang diberikan seringkali tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Hal ini membuat para pelaku korupsi tidak jera. - Kompleksitas Proyek
BUMN seringkali menangani proyek-proyek besar dengan nilai anggaran yang fantastis. Kompleksitas proyek ini seringkali dimanfaatkan untuk melakukan mark-up anggaran atau penggelapan dana.
UU Perampasan Aset: Solusi atau Ilusi?
Salah satu solusi yang sering digaungkan untuk memerangi korupsi adalah pengesahan Undang-Undang (UU) Perampasan Aset.
UU ini diharapkan dapat mempermudah proses perampasan aset para koruptor, sehingga mereka tidak bisa menikmati hasil korupsinya.
Namun, pertanyaannya adalah Kapan UU ini akan disahkan? Hingga saat ini, proses pengesahan UU Perampasan Aset masih terhambat. Padahal, UU ini bisa menjadi senjata ampuh untuk memerangi korupsi, terutama di tingkat BUMN.