Sebagai contoh, ia menyoroti kasus di Kabupaten Boven Digoel, di mana PSU diperintahkan tanpa mengikutsertakan Calon Bupati Petrus Ricolombus Omba, meskipun sebelumnya KPU telah menetapkannya sebagai pemenang.
"Seharusnya, status Petrus Ricolombus Omba sebagai mantan terpidana di Pengadilan Militer bisa terdeteksi sejak awal pendaftaran. Ini menunjukkan adanya ketidaktransparanan, atau bahkan kurangnya koordinasi dan konsultasi jika memang tidak memahami aturan," kritik Indrajaya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa dampak putusan MK tidak hanya dirasakan oleh pasangan calon, tetapi juga oleh masyarakat pendukung mereka. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu semestinya lebih peka terhadap konsekuensi yang ditimbulkan.
Meski ada kekecewaan, ia berharap masyarakat Papua Selatan tetap bisa menerima putusan MK dengan lapang dada. "Saatnya bersatu membangun daerah otonomi baru ini agar lebih maju dengan semangat persaudaraan," ucapnya.
Indrajaya juga menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada lagi ruang untuk upaya hukum lain setelah keputusan PHPU diketok palu.
"Keteledoran ini terjadi di tingkat kabupaten, kota, hingga provinsi. Kami berharap penyelenggara pemilu di tingkat lebih tinggi segera melaporkan masalah ini ke DKPP. Jangan sampai kejadian ini terus berulang—karena hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali," pungkasnya.