Dalam dunia politik kita kenal istilah oposisi, koalisi, polarisasi, konspirasi, oligarki serta kolaborasi dan rekonsiliasi. Masing-masing kata, tentu beda makna, tetapi semuanya ikut mewarnai dinamika politik yang kerap terjadi, utamanya jelang dan pasca pemilu.
“Tetapi sepertinya sekarang nggak ada oposisi, padahal oposisi itu penting sebagai alat penyeimbang,” kata bung Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan bang Yudi.
“Bukan nggak ada, tetapi belum ada,” kata Yudi menimpali.
“Kalau dikatakan belum ada, berarti saatnya akan ada dong?,” tanya Heri.
“Nggak usah menduga – duga, kita ini bukan pakarnya yang bisa menduga,” kata mas Bro.
“Betul, lagi pula soal oposisi itu urusannya partai politik, bagaimana bersikap terhadap pemerintahan yang sekarang,” urai Heri.
“Iya juga. Lagian untuk tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah tidak harus menjadi oposisi. Mereka yang tergabung dalam koalisi pemerintah pun bisa menyatakan sikap tidak sependapat, jika kebijakan tidak pro rakyat,” jelas mas Bro.
“Bagi rakyat tidak mempersoalkan parpol berada di mana, apakah menjadi oposisi atau berkoalisi. Yang dinilai adalah hasil perjuangannya. Apakah bermanfaat bagi rakyat, atau sebaliknya merugikan rakyat,” kata Heri.
“Berarti yang terpenting adalah tujuan akhirnya untuk rakyat, bukan buat kerabat ya, Jalan yang ditempuh bisa dari mana saja,” celatuk Yudi.
“Ibarat dari Jakarta menuju Bekasi, bisa via jalan tol, lewat Kalimalang, BKT, Cempaka Putih, Cakung dan masih banyak yang lainnya,” urai Heri.
“Yang penting tujuan akhirnya Bekasi, tinggal nantinya Bekasi yang mana, gitu aja kok repot,” ujar Yudi.