Kopi Pagi: Jangan Sampai, SDA Tergadaikan

Kamis 06 Feb 2025, 08:01 WIB
Kopi Pagi:  Jangan Sampai, SDA Tergadaikan (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi: Jangan Sampai, SDA Tergadaikan (Sumber: Poskota)

“Semangat yang dibangun dalam mengelola kekayaan alam adalah semangat kebangsaan untuk  mewujudkan sebesar- besar kemakmuran rakyat. Ingat, bukan kemakmuran segolongan orang semata..”

-Harmoko-

Kita bangsa Indonesia wajib bersyukur atas limpahan sumber daya alam begitu rupa. Kekayaan alam ini sebagai anugerah yang wajib kita jaga agar tidak cepat punah. Rasa syukur wajib pula diterjemahkan ke dalam sikap dan perilaku untuk,melindungi dan mengelola kekayaan alam dimaksud demi kemakmuran rakyat.

Persoalan mulai muncul saat sumber daya alam itu mulai dikelola untuk dimanfaatkan. Multitafsir tidak terhindarkan karena beda sudut pandang dan kepentingan, tentang kata “dimanfaatkan” itu.

Dimanfaatkan untuk siapa? Apakah benar – benar untuk kemakmuran rakyat, atau sebatas jargon , tetapi dibaliknya terdapat kepentingan pribadi dan bisnisnya yang lebih besar, ketimbang kemakmuran rakyat sebagai tujuan utama.

Di sinilah perlunya aturan yang jelas dan tegas soal bagaimana mengelola kekayaan alam kita.

Sejatinya para pendiri negeri ini sudah sangat sadar bagaimana menjaga, merawat dan menggunakan kekayaan alam kita. Maka begitu negeri ini berdiri diatur dalam konstitusi seperti yang tertuang dalam Undang- Undang Dasar 1945.

Pada pasal 33 ayat 3 dijelaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”.

Ini dapat dimaknai bahwa prinsip dasar mengelola sumber daya alam adalah siapa yang menguasai? Bagaimana memanfaatkannya? Dan, untuk siapa sumber daya alam itu dimanfaatkan? Ketiga hal mendasar ini yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun dengan alasan apa pun.

Siapa yang menguasai, jelas negara. Untuk siapanya juga jelas. Demi kemakmuran rakyat.

Di dalam UUD tersurat jelas bahwa pengelolaan sumber daya alam harus dimanfaatkan secara menyeluruh untuk kemakmuran. Maknanya adalah berupaya memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian demi kemakmuran rakyat seutuhnya.

Meski optimal bukan berarti semena- mena, tetapi harus memperhatikan keberlanjutan sumber daya alam tersebut di masa depan, bisa dinikmati anak cucu, anak cucu berikutnya.

Sumber daya alam tidak dihabiskan untuk satu masa, jangan karena alasan ingin optimal dan maksimal, maka anak cucu kita kelak tinggal menerima ampasnya. Lebih - lebih menanggung derita karena sumber daya alam sudah "tergadaikan".

Karenanya eksploitasi kekayaan alam, selain untuk memenuhi kebutuhan masa kini, juga tidak mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.

Perlu sikap arif dan bijak dari negara dan pemerintah di dalam mengelola kekayaan alam. Tidak saja dengan memperhatikan asas manfaat, juga efisien, keseimbangan, dan kelestariannya.

Jangan karena alasan bisnis dan ekonomi semata alam dieksploitasi tanpa dengan tanpa memperhitungkan rusaknya lingkungan yang akhirnya akan merugikan generasi mendatang.

Belakangan ini ramai dibahas soal pagar laut yang dinilai merugikan masyarakat sekitar dan merusak lingkungan.

Diprediksi akibat kokohnya pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir pantai utara Kabupaten Tangerang, Banten telah merugikan ribuan masyarakat sekitar dengan nilai puluhan miliar. Ini baru kerugian materi, belum lagi kerusakan lingkungan.

Belum lagi juga, jika terdapat pagar laut yang sama atau hal serupa di daerah lainnya. Ini yang harus kita cegah bersama agar pengelolaan kekayaan alam tidak menyimpang dari tujuan utama.

Konstitusi kita sudah jelas dan tegas mengatur bahwa pengelolaan sumber daya alam negeri kita demi kemakmuran rakyat. Bukan demi kepentingan pejabat, kerabat, juga konglomerat.

Jika kepentingan lain yang lebih dominan, maka kemakmuran rakyat yang menjadi tujuan utama dari pemanfaatan kekayaan alam sebagaimana amanat UUD 1945, makin jauh terpinggirkan.

Kita tentu tak ingin kekayaan alam kita yang terhempas luas mulai dari pegunungan hingga lautan, dikavling-kavling demi kepentingan bisnis semata oleh sementara orang,tanpa melihat historisnya, dengan menggusur rakyat sekitarnya.

Penafsiran terhadap pasal 33 UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dari semangat  para penyusunnya dan kondisi historis yang melingkupinya. Semangat yang dibangun adalah semangat kebangsaan untuk  mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ingat, bukan kemakmuran segolongan orang semata, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Zaman berganti tak bisa dihindari, alih generasi sudah pasti terjadi, tetapi semangat menjaga, merawat, dan mengelola kekayaan alam demi kemakmuran rakyat tidak boleh berhenti.

Itulah semangat kebangsaan yang harus ditumbuhkembangkan oleh kita semua, siapa pun dia, di mana pun berada, apa pun profesinya, lebih – lebih mereka yang telah diberi amanah oleh rakyat. (Azisoko).

Berita Terkait

Kopi Pagi: Menyoal Sistem Pemilu  

Kamis 16 Jan 2025, 08:03 WIB
undefined

Kopi Pagi: Reformasi Pilkada

Senin 20 Jan 2025, 07:58 WIB
undefined

Kopi Pagi: Pilgub Masa Depan

Kamis 23 Jan 2025, 08:02 WIB
undefined

News Update