Sengketa Lahan Perumahan di Bekasi, Bari Diadang Aparat hingga Alat Berat

Selasa 04 Feb 2025, 09:29 WIB
Seseorang melintasi perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2, di Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Senin, 3 Februari 2025. (Sumber: Poskota/Ihsan Fahmi)

Seseorang melintasi perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2, di Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Senin, 3 Februari 2025. (Sumber: Poskota/Ihsan Fahmi)

Menurut Bari, permasalahan ini berakar dari kepemilikan tanah yang terjadi puluhan tahun lalu. Pada Tahun 1990, SHM bernomor 325 seluas 3,6 hektare dimiliki oleh seseorang bernama Juju. Tanah tersebut kemudian dibeli oleh Hamid, tapi terjadi ketidaktertiban pembayaran yang akhirnya menyebabkan Hamid membawa dokumen tanpa menyelesaikan perjanjian jual beli.

Hamid kemudian menunjuk rekannya, Bambang, untuk memasarkan tanah tersebut. Bambang bertemu dengan Kayat, seorang pembeli yang akhirnya menyelesaikan pembayaran untuk tanah itu. "Singkatnya lunas, antara Kayat dengan Juju, dan dibuatlah akta jual beli. Sertifikat SHM 325 pun balik nama atas nama Kayat," ujar Bari.

Namun, Kayat membeli tanah tersebut bukan untuk ditempati, melainkan untuk dijual kembali. Sayangnya, saat akan dipasarkan, Kayat kesulitan mencari pembeli. Akhirnya, tanah tersebut dibagi-bagi menjadi beberapa bagian dengan nomor sertifikat berbeda, salah satunya menjadi sertifikat 704 seluas 2,4 hektare dan 705 seluas 3.100 meter persegi, yang dibeli oleh Toenggol Paraon Siagian. "Kemudian balik nama dari Kayat menjadi Toenggoel," lanjut Bari.

Pada 1996, terungkap bahwa ahli waris dari Hamid, yakni Mimi Jamilah, mulai menggugat sejumlah pihak terkait kepemilikan tanah tersebut, termasuk Bambang, Kayat, Juju, dan Toenggoel. "Mimi menggugat berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) antara Juju dan Hamid," ungkap Bari.

Gugatan tersebut berlanjut ke Pengadilan Negeri Bekasi, Pengadilan Tinggi, hingga Kasasi. Pada 2002, akhirnya terjadi perdamaian antara Mimi dan para tergugat. Setelah itu, tidak ada kabar lebih lanjut mengenai sengketa tanah hingga 2019.

Tahun tersebut, Bari membeli tanah dengan sertifikat 705 seluas 3.500 meter persegi dari Toenggoel, dengan segala dokumen yang tampak sah. "Saya cek sertifikat di BPN, clear and clean, tidak ada masalah," ujar dia.

Setelah transaksi, Bari melakukan balik nama dan membagi tanah tersebut menjadi 27 bidang untuk dijual. Bahkan, beberapa bank plat merah ikut terlibat dalam proses kredit untuk para konsumen. Namun, pada 18 Desember 2024, Bari terkejut menerima surat eksekusi dari PN Cikarang yang meminta pengosongan lahan.

Bari merasa terkejut, karena dokumen SHM yang dimilikinya tidak pernah dibatalkan atau dicabut. "Kami kaget hanya diberi jeda satu bulan. Sementara kami tidak tahu duduk perkaranya," ungkapnya.

Bari dan beberapa perwakilan warga sempat melakukan audiensi dengan PN Cikarang, tapi mereka hanya mendapat penjelasan bahwa eksekusi dilakukan karena perkara tersebut sudah ditangani di PN Bekasi.

Berita Terkait

News Update